sampah yang tak tahu arah jalan pulang alias ada di mana-mana. Ya, ini terjadi karena minimnya kesadaran masyarakat terhadap lingkungan. Mereka masih menganggap bahwa sampah merupakan sisa dari sebuah proses yang tidak diinginkan dan tidak mempunyai nilai ekonomis.Â
Majalaya merupakan suatu wilayah di Kabupaten Bandung yang dahulu terkenal akan kemajuan industri tekstilnya. Namun kini, Majalaya lebih dikenal sebagai wilayah yang tak pernah absen kebanjiran setiap tahunnya. Salah satu penyebab banjir di Majalaya yakni banyaknyaBerdasarkan data Pemerintah Kabupaten Bandung pada 2019, terdapat 0,35-0,4 kg sampah per harinya yang dihasilkan oleh 3,6 juta penduduknya. Artinya, ada sebanyak 43.200 ton sampah per bulan yang dihasilkan oleh Kabupaten Bandung, sedangkan sampah yang diangkut dan ditangani Bidang Pengeloaan Sampah Dinas Kabupaten Bandung hanya berkisar 200-320 ton per harinya. Hal tersebut menunjukkan, masih banyak sampah yang belum dikelola.Â
Sebenarnya, sudah banyak program pemerintah dan pihak-pihak tertentu terkait penanganan sampah di Majalaya mulai dari program Sajiwa (Sabilulungan Hiji Duwa), pengangkutan sampah, dan pengelolaan sampah lainnya. Sayangnya, tidak ada keseimbangan antara bertambahnya volume sampah dan kesadaran masyarakat di Majalaya. Hal ini diperparah dengan tidak adanya program berkelanjutan yang mendapatkan pengawasan. Kebanyakan, program dibuat untuk mengatasi masalah sesaat. Maka dari itu, sudah saatnya Pemerintah Kabupaten Bandung dan dinas lingkungan memberdayakan generasi muda dengan memberikan fasilitas pendukung agar mereka dapat mulai memimpin perubahan di daerah.Â
Pada 2019 silam, civitas akademika Unpad menginisiasi pembentukan bank sampah berbasis zero waste di daerah Majalaya, tepatnya di daerah Bojongreungas yang berdekatan dengan Sungai Citarum. Program ini berhasil di lakukan karena menggunakan metode Participatory Rural Appraisal (PRA). Di mana, terdapat keterlibatan masyarakat dalam menangani permasalahan sampah. Mereka tidak hanya menjadi objek pembangunan, tetapi juga berperan aktif untuk menganalisis hingga memberi solusi. Metode ini akan membantu meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal warga.Â
Setelah mempersiapkan berbagai hal, pengaplikasian bank sampah ini dimulai dengan mengadakan sosialisasi kepada warga. Lalu, dilanjutkan dengan upaya pengadvokasian kepada para pengurus RW dan kader setempat yang dibantu oleh para pemuda Karang Taruna. Pengadvokasian dilakukan dengan cara menyampaikan urgensi bank sampah berbasis zero waste dan inovasi terbarukan untuk kampanye gaya hidup dalam mengurangi sampah sekali.Â
Dari inisiasi tersebut, kita menyadari bahwa harus ada keterlibatan masyarakat secara langsung agar kesadaran mereka terhadap lingkungan dapat tumbuh. Sayangnya, inisiasi tersebut tidak memiliki pengawasan berkelanjutan, sehingga target bank sampah zero waste tersebut belum bisa dimaksimalkan.Â
Melihat lemahnya kekuasaan dan pengawasan dari inisiasi hebat ini, sudah saatnya pemerintah Kabupaten Bandung mengerahkan kekuatan dengan memberdayakan pemuda desa untuk memimpin pemberdayaan lingkungan. Pemerintah perlu memfasilitasi pemuda dengan mengadakan workshop rutin, pengawasan secara berkala, dan pemberian benefit lainnya, sehingga akan ada timbal balik antara pemerintah dan pemuda desa. Pemberdayaan pemuda desa dapat dilakukan serupa dengan rumah kepemimpinan, institusi milik bangsa yang mengelola dana zakat, infaq, sedekah dan wakaf dari masyarakat dalam berbagai program pemberdayaan pemuda untuk mempersiapkan calon-calon pemimpin masa depan.
Pemberdayaan tersebut diperkirakan akan cukup membantu pemerintah dalam melangsungkan program-programnya di daerah. Selain itu, peningkatan kualitas para pemuda desa diperkirakan akan berdampak secara domino, tidak hanya mampu menangani permasalahan sampah dan lingkungan, tetapi juga mampu menekan permasalahan lainnya di daerah mereka.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H