Kedua orang tua saya bertitel Haji dan Hajah. Saya sendiri alhamdulillah seorang muslim, walaupun masih dengan tingkat keimanan menengah dan dengan tingkat ketepatan waktu shalat hampir selalu di injury time. Sedari kecil saya dididik secara Islam mulai dari masuk TKA-TPA sampe akhirnya khatam.
Sejak SMU saya memiliki beberapa teman-teman dekat non muslim (Kristen Protestan & Katolik). Hampir tak ada masalah antara kami mengenai agama masing-masing, bahkan kalau saling memaki yang "nyerempet-nyerempet" masalah agama pun tetep fine-fine saja sambil ketawa-ketiwi ala abg sarap. Ketika kuliah di Jogja pun saya sempat beberapa tahun satu kontrakan dengan seorang teman yang kami juluki (maaf) Protestan abal-abal. Lha wes piye...? Teman saya itu hampir setiap minggu tak pernah ke Gereja. Ketika Natal tiba pun, teman saya itu tetap tidak ke Gereja dengan alasan ketiduran! Kadang kami (penghuni kontrakan) berkata guyon, "cah, nyesel Jesus duwe umat ora tau neng Gereja koyo koe" (nak, nyesal Jesus punya umat yang tak pernah ke Gereja seperti kamu). Yang bersangkutan malah mesam-mesem tanpa dosa. Sebaliknya, jika Jumat tiba dan jam hampir jam 12 siang malah teman saya itu tadi berkoar-koar "Jumatan jumatan.. seng ora Jumatan bearti kafir, ora iso mlebu surgo koyo Nabi Muhammad" (jumatan jumatan, yang tak jumatan bearti kafir, tak bisa masuk surga seperti Nabi Muhammad). Yah seperti kata-kata Ali bin Abi Thalib, "Jangan lihat siapa yang berbicara, dengar apa yang dia bicarakan". Dan kami pun bergegas berangkat Jumatan.
Sejak lulus kuliah saya memutuskan hijrah mencari pekerjaan di luar kota. Alhasil kota yang saya tuju salah satu kota di Jabar yang dekat dengan ibukota. Disana saya akan tinggal dengan keluarga Bude (kakak perempuan Ibu saya). Bude saya dan keluarganya adalah Katolik yang taat. Berbagai pikiran (kekhawatiran) muncul di benak saya terutama tentang perbedaan agama ini. Semasa kuliah tidaklah terpikir tentang ini, maklum sekontrakan saya mayoritas muslim dan antara kami guyon-guyon tentang agama selalu masuk kuping kiri langsung keluar lagi di kuping kiri jadi belum masuk ke kepala walaupun hanya lewat. Nah sekarang, saya akan tinggal sebagai minoritas dan tentunya tak akan ada guyon-guyonan. Belum lagi saya agak sedikit termakan akan isu Kristenisasi. Ah, biarlah yang penting niat saya hanya numpang untuk mencari kerja. Agamamu agamamu, agamaku agamaku.
Tinggal di rumah bude.. beberapa hari semua lancar-lancar saja. Suatu sore Bude saya menegur kebiasaan saya mandi malam, beliau meminta saya agar mandi sore saja (sekitar jam 4-5 sore). Awalnya saya merasa aneh. Lha wong yang punya badan saya, dan itu kebiasaan lama sejak kuliah. Lalu beliau berkata "kamu ini pagi saja sudah jarang mandi, kalo mandi malam nanti shalat magrib dan isya'mu kurang bagus habis keringatan seharian". Waduh... malunya karena yang dikatakan beliau itu benar. Hari berganti, Jumat tiba. Pagi-pagi bude saya teriak-teriak, "wiidd.. ayeuna hari naon??" kujawab "Jumat budeee.." beliau berkata lagi, "ulah poho sia, ngke jumatan" (jangan lupa kamu, nanti jumatan). Saya kira hanya hari itu saja saya diingatkan, ternyata... tiap hari jumat, tiap hampir magrib dan hampir tiap subuh beliau berkata "Solat solat solat...". Tiap jumat pula sajadah dan baju koko pemberian salah seorang anak bude saya (tentunya seorang Katolik) sudah siap di meja kamar saya. Bersih, wangi, dilipat dengan rapi. Tak kalah dengan binatu kelas atas.
Suatu hari minggu saya harus mengantar bude dan keluarga ke Gereja. Setibanya disana, salah seorang anak bude saya menyuruh untuk ngedrop saja, saya disuruh jalan-jalan dan jemput lagi kemudian. Nampaknya sepupu saya tadi sadar kalau saya agak risih untuk masuk ke Gereja walaupun hanya di parkiran. Suatu jumat saya dan keluarga bude akan kondangan salah satu kerabat di Depok. Kami berangkat jam 11 karena undangan jam 1. Ditengah jalan putri tertua bude saya menyuruh menghentikan mobil. Katanya dia mau belikan keponakannya eskrim di indomaret dan saya disuruh jumatan dulu (astaga, waktu itu saya benar-benar lupa kalau hari jumat). Padahal keponakannya itu tidak minta apa-apa, lha wong bocahe turu di jok belakang.
Merayakan ultah.. ya, cucu bude saya merayakan ultahnya yang ke-8 tahun. Ketika doa dimulai (secara Katolik tentunya), saya bingung dan canggung. Lalu menantu bude saya bilang "Berdoa dengan cara kamu saja, tak perlu ikuti kami. Doa yang baik, oleh orang baik dengan bahasa, agama dan cara apapun pasti didengarkan Tuhan". Saya pun mendoakan secara Islam kepada cucu bude saya yang Katolik.
Ramadhan pun tiba... Sebelum Ramadhan atau bulan puasa tiba, jauh-jauh hari saya sudah khawatir tentang bagaimana nanti saya sahur, buka dan tarawih. Soalnya yang sesama muslim disini hanya pembantu bude saya. Tapi bukan masalah dengan siapa saya beribadah. Mau dengan pembantu atau budak pun saya tak masalah. Saya hanya rikuh jika dini hari sudah berisik di dapur untuk sahur dan tuan rumah masih nyenyak, dan beberapa hal lain. Tapi yang utama saya bingung karena tidur saya laksana kerbau tuli, walaupun ada suara bom tetap saja molor semolor-molornya. Syukurlah semua lancar. Tak disangka, bude saya yang masak untuk saya dan bibi (pembantu) sahur. Seluruh keluarga ikut bangun dini hari, ikut makan dengan alasan lagi males sarapan pagi-pagi. Ketika siang ternyata di meja makan benar-benar bersih dari makanan. Bude saya ikut berpuasa tapi dengan alasan untuk kesehatan walaupun usia beliau sudah 60an tahun. Dan anak-anaknya ikut-ikutan puasa dengan alasan diet, memang anak-anak bude saya sangat subur-subur (lemu-lemu). Kecuali seorang putri bude saya tidak ikut-ikutan puasa karena sedang menyusui bayinya, saya pun mafhum. Saya berpikir.. itu alasan sebenarnya atau memang mereka menghargai saya sebagai muslim dan menghormati bulan Ramadhan atau.................
Pikiran negatif saya tetap saja ada. Saya berpikir jangan-jangan keluarga saya disini pertama-tama baik lalu perlahan mengaburkan keyakinan saya lalu mereka me-murtad-kan saya. Sampai suatu siang bude saya mengultimatum.. "kamu disini harus rajin solat minta petunjuk dan rejeki dari Yang DiAtas, kalau kamu sampai murtad kamu gak usah tinggal disini lagi".
Oke-oke, saya yakin mereka tulus. Hal ini menjawab pertanyaan lama yang sedari kecil baru terjawab sekarang yaitu, selama berpuluh-puluh tahun diantara 12 orang bersaudara (termasuk Ibu dan Bude saya) mengapa nyaris tak ada konflik yang berkaitan dengan keyakinan dimana hanya keluarga bude saya itu yang beragama non muslim di klan keluarga besar kami. Dan keluarga besar kami yang muslim pun menghormati dan menghargai mereka sebagai manusia tidak dari tempat ibadahnya.
Sejak itu saya lebih toleran dan menghormati perbedaan agama dengan siapapun kecuali komunisme. Walaupun di beberapa kesempatan saya menjumpai banyak sentiment agama masih subur di negeri yang plural ini. Contohnya, suatu hari di Bandara Adi Sucipto, saya datang lebih awal karena takut ketinggalan first flight sebab kebiasaan tidur saya yang sulit diatur. Saya duduk di kursi panjang, dan dibelakang saya ada beberapa orang sedang asyik ngobrol. Karena posisi duduk saya yang membelakangi mereka dan begitupun sebaliknya berjarak kira-kira hanya 30cm, obrolan mereka pun jelas terdengar. Salah satunya berkata "ini nih gara-gara orang Islam tukang ngebom jadi kita diperiksa macem-macem". Nampaknya orang itu kesal dengan security check di pintu masuk. Sentiment buruk. Ya, mereka berfikir pendek dengan menggeneralisasi semua muslim adalah tukang ngebom. Padahal yang kerjaannya ngebom menurut saya adalah muslim yang salah mengerti tentang Islam dan Jihad. Lagipula kalau semua muslim teroris. Maka Indonesia adalah Negara teroris terbesar di dunia, lalu saya dan anda sebagian pembaca kompasiana adalah calon-calon "pengantin" andalan yang mungkin komplotan Dulmatin di Pamulang kemarin. Satu lagi sewaktu saya naik angkot di kota hujan ini. Ketika hendak naik saya refleks mengucapkan basmallah, dan didalam angkot hanya ada dua laki-laki yang dari tampangnya seperti masih mahasiswa, nampaknya mereka mendengar bacaan basmalah saya tadi karena kedua orang itu tersenyum setelah mendengarnya. Karena jika turun dari stasiun, jalur angkot saya melewati sebuah Gereja besar dan sebuah Katedral. Tiba-tiba ketika melewati Katedral yang terletak di sebelah Istana Kepresidenan salah seorang nyeletuk "ck ck ck... masih banyak aja orang yang mau diajarin ma pedofil..", lelaki yang satunya bertanya "maksud lo?". Dijawab lelaki pertama "di Amerika sono kan pastur ato pendeta banyak yang ‘doyan' anak kecil, sama aja kali ama yang disini". Busyet dah... Amerika disamakan dengan Indonesia. Parahnya lagi, stereotype semua pemuka agama Kristen dan Katolik adalah pedofil nampaknya harga mati bagi mereka. Padahal kasus pedofil di negeri paman sam oleh Pendeta atau Pastur hanya beberapa dan tidak signifikan dibanding jumlah keseluruhan Pendeta atau Pastur disana. Dan mereka mengatakan hal yang sama terjadi di Indonesia?? Babe yang orang biasa saja segitu di eksposnya oleh media apalagi pemuka agama salah satu agama resmi diakui di Indonesia. Kalaupun ada kasus tersebut di Indonesia, saya yakin hanya segelintir dan lagi-lagi tidak semua.
Hal ini justru memperluas pemikiran saya tentang Islam menjadi lebih luas. Saya yakin Islam tidak berucap sepatah kata pun tentang permusuhan. Islam sesuai petunjuk Nabi Muhammad SAW tidak bertujuan menyakiti siapapun termasuk musuh, tapi mengembalikan mereka (musuh) ke jalan yang benar. Seperti dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 62 "Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari Kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati." Dan surat Al-Maidah ayat 69 yang berbunyi "Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar saleh, Maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati".