Kita telah memasuki era Antroposen, sebuah zaman di mana jejak perilaku manusia di muka Bumi begitu mendalam hingga mengubah wajah planet ini secara drastis. Di balik pencapaian luar biasa dalam teknologi dan ilmu pengetahuan, kita menyimpan sebuah tragedi yang mengancam keberlanjutan hidup: hilangnya keanekaragaman hayati. Dalam istilah yang lebih sederhana, kita sedang meracik resep kepunahan kita sendiri, dengan dampak yang tak terbayangkan bagi kehidupan di Bumi. Tapi, apakah kita benar-benar memahami apa yang akan terjadi jika keanekaragaman hayati ini punah? Atau kita hanya memilih untuk menutup mata dan mengabaikan kenyataan yang mengerikan ini?
Kepunahan dalam Bayangan Antroposen
Keanekaragaman hayati bukanlah sekadar koleksi spesies yang berbeda. Ia adalah jaringan kehidupan yang kompleks, tempat setiap spesies memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Di era Antroposen ini, kita telah merobek jaring kehidupan ini dengan kecepatan yang mencengangkan. Menurut laporan IPBES (Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services), sekitar satu juta spesies terancam punah dalam beberapa dekade mendatang jika tidak ada tindakan drastis yang diambil (IPBES, 2019). Di sini, kita harus bertanya: “Apakah kita benar-benar layak disebut penghuni Bumi, atau sekadar parasit yang perlahan-lahan menghancurkan inangnya?”
Indonesia, sebagai salah satu negara dengan keanekaragaman hayati terbesar di dunia, berada di garis depan dari bencana ini. Alih-alih menjadi pelindung alam, kita telah menjadi penghancurnya. Hutan tropis yang menyelimuti pulau-pulau besar seperti Kalimantan dan Sumatra, yang dulunya menjadi rumah bagi ribuan spesies, kini kian menyusut akibat deforestasi. Alih fungsi lahan untuk pertanian, perkebunan kelapa sawit, dan penebangan liar telah mengubah bentang alam menjadi monokultur yang miskin akan kehidupan. Konsekuensi yang mengerikan bagi spesies-spesies endemik seperti harimau Sumatra dan orangutan Kalimantan (Greenpeace, 2023). Kepunahan mereka bukan hanya kehilangan satu atau dua spesies, melainkan hilangnya bagian penting dari identitas bangsa dan peradaban kita.
Perubahan Iklim: Pemicu yang Mengakselerasi Kepunahan
Perubahan iklim adalah kekuatan besar yang mengancam untuk mempercepat proses kepunahan. Suhu global yang terus meningkat, perubahan pola curah hujan, dan peningkatan frekuensi bencana alam seperti badai dan banjir adalah tanda-tanda peringatan yang jelas, banyak spesies tidak mampu beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan yang terjadi. Namun, seberapa serius kita menanggapi tanda-tanda ini? Sering kali kita terjebak dalam perdebatan politik tanpa tindakan nyata, sementara ekosistem kita perlahan-lahan terkikis.
Terumbu karang, yang dikenal sebagai “hutan hujan” laut, menjadi korban utama dari pemanasan global. Di Indonesia, pemutihan karang telah menjadi fenomena yang semakin sering terjadi, dengan dampak yang menghancurkan bagi kehidupan laut. Sebuah studi menunjukkan bahwa sekitar 50% dari terumbu karang di wilayah Asia Tenggara telah mengalami degradasi parah akibat perubahan iklim dan aktivitas manusia (Coral Triangle Initiative, 2022). Terumbu karang ini adalah ekosistem yang kompleks dan sangat penting, tidak hanya bagi kehidupan laut, tetapi juga bagi masyarakat pesisir yang bergantung pada laut untuk mata pencaharian mereka (WWF Indonesia, 2022). Fakta, yang menyedihkan adalah bahwa perubahan iklim ini sebagian besar didorong oleh aktivitas manusia—emisi gas rumah kaca dari pembakaran bahan bakar fosil, deforestasi, dan praktik industri yang tidak berkelanjutan. Dampaknya tidak hanya dirasakan di tempat-tempat yang jauh, tetapi juga di depan pintu kita sendiri.
Meskipun ancaman ini sudah di depan mata, tindakan yang diambil untuk melindungi terumbu karang masih sangat minim. Mengapa? Karena lebih mudah bagi kita untuk terus mengeksploitasi alam daripada mengakui bahwa cara hidup kita perlu diubah secara drastis.
Limbah dan Polusi: Racun yang Tidak Terlihat tetapi Mematikan
Selain perubahan iklim, limbah dan polusi juga berperan besar dalam menghancurkan keanekaragaman hayati. Setiap tahun, diperkirakan 8 juta ton plastik mengalir ke laut, menciptakan apa yang disebut sebagai “lautan plastik”. Lautan yang dahulu menjadi sumber kehidupan kini berubah menjadi kuburan bagi ribuan makhluk hidup laut. Penyu, burung laut, dan ikan sering kali terjebak atau mengkonsumsi plastik, yang akhirnya membawa mereka pada kematian perlahan. Menurut sebuah laporan dari Jambeck et al. (2015), Indonesia adalah kontributor terbesar kedua di dunia untuk pencemaran plastik di laut, hanya kalah dari China. Ini adalah noda besar dalam reputasi kita sebagai negara maritim yang kaya akan sumber daya laut. Sungai-sungai yang mengalir ke laut tidak lagi membawa kehidupan, tetapi racun dari limbah industri yang meracuni air dan tanah, membunuh segala sesuatu yang bergantung padanya.
Permasalahan limbah tidak hanya berhenti di lautan. Polusi udara, yang sering kali kita anggap sebagai masalah perkotaan, sebenarnya memiliki dampak yang jauh lebih luas dan mematikan. Partikel-partikel polusi yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor dan industri tidak hanya merusak paru-paru manusia, tetapi juga mempengaruhi tumbuhan dan hewan yang hidup di sekitarnya. Sebuah studi dari WHO menyatakan bahwa polusi udara bertanggung jawab atas kematian lebih dari 7 juta orang setiap tahunnya, dengan dampak yang lebih besar di negara-negara berkembang seperti Indonesia (WHO, 2021). Jika kita tidak mampu mengendalikan polusi udara ini, kita akan menyaksikan hilangnya keanekaragaman hayati di kawasan-kawasan yang sebelumnya dianggap aman dari ancaman ini.
Krisis Keanekaragaman Hayati di Indonesia: Tanggung Jawab Siapa?