Kondisi pertelevisian di Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Selain karena perkembangan media sosial yang sudah sangat masif, juga dikarenakan pasar untuk iklan cenderung memilih cara yang praktis mudah dan terukur. Sedikit menengok kebelakang saat industri pertelevisian begitu menjadi idola. Operasional yang sangat besar untuk memproduksi acara televisi, bisa tercukupi dengan sejumlah iklan yang masuk. Apalagi untuk acara off air dengan jumlah pengunjung mencapai ribuan orang, dengan mudah para sponsor akan berebut untuk ikut mensuport acara tersebut.
Mereka yang bekerja di dunia hiburan juga sangat tergantung dengan sejumlah acara televisi. Artis atau presenter hingga host diacara televisi seolah otomatis menjadi artis ditengah masyarakat.
Setelah masa jayanya, kini industri pertelevisian harus bertahan hidup dengan minimnya pemasukan iklan, hingga biaya operasional yang sangat besar. Tidak hanya bersaing dengan sesama televisi, namun kini harus berhadapan langsung dengan media sosial dengan berbagai kemudahan untuk membuat konten. Jika dahulu orang ingin menjadi terkenal atau dipandang sebagai artis harus berjuang di Jakarta untuk masuk kedalam acara televisi nasional, kini siapapun bisa terkenal asal memiliki karakter atau tampilan yang berbeda melalui media sosial.
Berbagai diskusi sudah dilakukan untuk membuat industri pertelevisian bisa bertahan atau bahkan mampu mendapat pemasukan yang besar ditengah gempuran media sosial. Sayangnya, diskusi yang dilakukan cenderung teoritis, tidak sederhana dan susah dieksekusi menjadi sebuah kenyataan yang mensejahterakan insan pertelevisian.
Sebenarnya jika dilihat lebih jeli, para pelaku diindustri pertelevisian akan dengan mudah memetakan apa yang menjadi keunggulan dari media sosial, dan nantinya akan menjadi titik tolak perkembangan televisi dengan kemasan baru dan lebih menjual. Seperti yang masyarakat umum ketahui, untuk membuat sebuah konten di media sosial, seseorang bisa melakukannya seorang diri. Tentu saja hal ini lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan kru televisi yang untuk satu acara saja harus melibatkan lebih dari lima orang.
Mereka yang menekuni media sosial, memiliki format yang berbeda dengan yang ditayangkan di televisi. Tidak harus acara mahal dengan seting panggung atau backgound yang bagus, namun tampilan yang sederhana dan cenderung apa adanya justru sangat disukai oleh masyarakat pemegang gadget. Idealisme atau teori boleh dan bisa dipertentangkan, namun dapat dilihat dengan mata telanjang, mereka yang hanya satu orang dan mampu menghasilkan 150 juta per bulan, dengan yang bekerja dalam sebuah tim namun hanya menghabiskan biaya produksi, sepertinya akan cukup menjawab berbagai pertentangan yang ada.
Rating acara televisi baru dapat dilihat melalui lembaga survei, sementara konten di media sosial pada waktu yang sama dapat dilihat langsung jumlah penonton atau mereka yang mengikuti secara live. Ini lebih nyata dan menjadi alasan terbesar pemilik dana untuk beriklan di media sosial.
Dengan umur industri televisi di Indonesia yang sudah puluhan tahun, dengan kematangan mengoperasikan peralatan, dengan kebiasaan model kerja yang terkoordinir, dan dengan kematangan membuat berbagai macam acara, sudah seharusnya insan pertelevisian mampu membuat konten yang lebih menarik untuk ditampilkan di media sosial. Sekali lagi media sosial menjadi tujuan utama untuk konten tersebut, sementara siaran televisi hanya menjadi bonus untuk tayangan terbatas.
Dengan cara ini maka industri televisi mampu bertahan dan bahkan akan mendapatkan penghasilan yang lebih besar dibandingkan hanya terpaku pada acara konvensional dan cenderung monoton. Saat masyarakat sudah bergeser ke media sosial dan tidak direspon kearah yang sama, maka keterpurukan akan menghampiri.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H