[caption id="attachment_167939" align="aligncenter" width="600" caption="Album foto usang milik keluarga kami (foto: widikurniawan)"][/caption] Gaya hidup masa kini tak bisa dilepaskan dari fenomena merebaknya kegiatan fotografi yang seolah makin mudah dilakukan oleh siapa pun. Kamera kini menjadi piranti yang tak sulit dicari, itu karena banyaknya pemilik ponsel yang memiliki fitur kamera. Pun, kamera saku digital hingga kelas DSLR yang lensanya panjang-panjang itu konon laris manis sebagai pendukung hobi sekaligus gaya. Namun sayang, menjamurnya aktivitas fotografi yang non-profesional alias hanya sekedar untuk kesenangan, terkadang tidak memiliki makna lanjutan setelah kegiatan itu dilakukan. Paling banter kegiatan jeprat-jepret berujung pada narsisme di media sosial macam Facebook atau Twitter. Selebihnya, file digital hasil jepretan hanya ngendon di folder dalam komputer, atau malah lebih tragis lagi, tetap mendekam di memory card kamera atau ponsel hingga terlupakan. Padahal, dulu sebelum era digital, setiap jepretan foto sangatlah berharga. Terkadang, ketika ada even tertentu yang harus dipotret, misalnya piknik bareng, satu roll film isi 36 bisa dibagi beberapa orang untuk dicetak foto narsisnya. “Saya minta dua jepret ya? Ntar saya ganti ongkos cetaknya,” demikian permintaan yang lazim terjadi. Beberapa buah album foto di rumah orang tua saya adalah bukti. Keluarga kami dari dulu tidak memiliki kamera sendiri. Namun, ratusan hasil cetak foto di album yang kini masih tersimpan rapi menunjukkan bahwa setiap momen jepretan adalah berharga, meski itu adalah hasil jepretan kamera nebeng. Saat saya membuka album satu demi satu, saya masih bisa melihat kegiatan ayah saya saat masih muda, sebelum saya terlahir di dunia. Kemudian momen-momen saat saya masih bayi, anak-anak hingga masa sekolah. Foto-foto itu menjadi sangat penting kini untuk mengenang kembali masa-masa dalam kehidupan kita. Kenangan masa lalu yang dalam keseharian jarang kita ingat karena perjalanan waktu dan kesibukan, seolah dapat kita tengok lagi melalui album foto. Kini, saya bahkan jarang melihat orang membeli album untuk memajang koleksi foto pribadi mereka. Sejak beberapa tahun belakangan pun, keluarga kami tidak lagi memasang foto satu demi satu di album, kecuali album penting saat-saat pernikahan saya maupun adik saya. Itupun karena foto pernikahan dikerjakan melalui jasa fotografer. Mungkin inilah yang disebut pergeseran akibat berubahnya jaman, mengoleksi foto di album tak lagi menjadi tren. Orang semakin malas untuk menempelkan satu demi satu foto ke dalam album foto. Tren memajang foto secara online tampaknya menjadi salah satu faktor juga mengapa orang ogah membeli album foto. Padahal sensasi saat suatu hari kelak kita membuka album kenangan, sungguhlah luar biasa dan terkadang mengharukan. Ah, apakah anda juga mengalaminya seperti saya? [caption id="attachment_167940" align="aligncenter" width="600" caption="Momen penting yang tersimpan dalam album foto"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H