Dua bulan yang lalu.
Ketika aku menyeruput segelas kopi panas di pagi hari, aku ingat kamu. Ketika sepiring indomie goreng kulahap, pikiranku pun tersenyum padamu. Sepertinya ritual sarapan pagiku banyak terbantu olehmu.
Tapi terkadang aku jengah. Bukan jengah denganmu, tapi dengan pandangan orang-orang tentangmu. Mereka melihatmu seolah hina, kotor dan bahkan tidaklah pantas dimiliki seorang mahasiswa ngekos macam aku.
Ah, itu hanya pikiran picik mereka. Aku tak pernah berniat menggantikan tempatmu dalam hidupku. Toh, ketika mereka datang ke kosku, mereka juga menikmati kebaikanmu. Secangkir teh atau kopi panas buat mereka tak akan bisa mereka dapatkan jika tak ada kamu.
Kini.
Aku kecewa. Kau telah pergi. Tak ada lagi secangkir kopi panas atau sepiring indomie goreng. Kau pergi meninggalkan luka. Tak hanya luka di hati, namun luka secara fisik. Kau bakar tanganku!
Apa salahku? Kesetiaanku kau bayar dengan sebuah ledakan dan semburan api. Kau meleduk. Dasar kompor butut! Seharusnya kudengar kata-kata mereka. Seharusnya sudah aku buang atau kujual ke tukang besi tua jauh-jauh hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H