“Sejak kapan kamu nggak doyan durian?”
Ketika pertanyaan ini tertuju pada saya, biasanya tidak saya jawab. Cukup senyum yang saya lempar kepada mereka, lumayanlah ada nilai ibadahnya daripada kulit durian yang saya lempar ke mereka, jatuhnya malah dosa atau justru laporan ke Bareskrim. Iya, sebabnya saya pun tidak tahu persis sejak kapan, karena seolah sejak saya lahir ceprot ke dunia ini saya sudah memiliki sensor alarm terhadap durian bersama aromanya.
Peristiwa penting yang teringat di memori saya adalah saat saya yang berusia antara 5-6 tahun pernah tantrum (bukan Ariel Tantrum yak...) atau ngamuk-ngamuk pada seisi rumah karena mereka membawa durian ke rumah dan berpesta. Jangan ditanya lagi kalau saya ngamuk, iya jangan ditanya dan nggak perlu kepo lah. Pokoknya saya marah, nangis, teriak dan histeris.
Sejak itulah orang tua saya mengetahui bahwa anak lelakinya yang terlahir ganteng sejatinya punya masalah dengan durian dan aromanya. Saya bisa langsung merasa mual dan tidak bisa berpikir jernih karena aromanya membuat saya pusing. Selain pusing, perut saya bisa mules kayak ibu-ibu mau melahirkan. Ini beneran, bukan fiksi, silakan googling pakai yahoo kalau nggak percaya.
Efek durian bagi saya tuh ibarat Superman ketemu batu kryptonite yang melemahkan segala kekuatannya.
Nyatanya kian lama saya makin bisa mengontrol emosi saya ketika mencium aroma durian di dekat saya. Saya tak lagi ngamuk-ngamuk meski sampai sekarang pun efek bau durian masih sama terhadap saya, bikin mual dan pusing. Intinya marah sih tidak, cuma mual saja.
Sebagai minoritas di negeri yang mayoritas masyarakatnya menggemari durian, saya harus bisa menahan diri. Tak mungkinlah saya ngamuk membabi buta menggusur lapak-lapak durian di sepanjang Kalibata, misalnya. Satpol PP saja nggak segitunya. Saya banyak belajar bagaimana menjadi minoritas yang mencoba memahami kesenangan dan kebutuhan orang lain.
Suatu ketika saya harus menemani tiga orang tamu dari kantor pusat tempat saya bekerja. Dari mulai hotel hingga makan saya yang urus. Hingga suatu ketika usai mengantar makan malam, seorang tamu saya tampaknya tergiur durian-durian yang penjualnya mangkal di pinggir jalan.
“Mas, duriannya kayaknya enak tuh?” ujarnya.
“Oh, memang enak-enak Pak durian sini, mau coba, oke deh kita mampir sebentar...” ucap saya.
Terus terang, saya nggak sampai hati kalau mau bilang durian di situ sama sekali nggak ada enak-enaknya. Busuk, bikin mual, pokoknya nggak enak. Ya sudahlah, untung lapaknya di pinggir jalan, bukan di ruangan tertutup, untung pula angin malam rada kenceng jadi saya hanya perlu atur posisi yang pas supaya tidak terkena hembusan aroma belah duren.