"Wah, saya nggak ada Mbak, mosok bayar segitu pakai kiris?" ucap Mas di depan saya.
"Oh yo wes, besok aja kalau gitu Mas, nggak papa..."
Percakapan itu terasa Jogja banget, kalau nggak cukup bawa uang sekarang bisa kembali lagi besok. Menandakan keramahan orang Jogja.
Namun, yang bikin salut di sini adalah konsistensi warung UMKM seperti itu dalam menggunakan QRIS atau kiris.
"Berapa Mbak, mendoan dua sama teh panas manis satu?" tanya saya.
"Tujuh ribu Mas, pakai kiris aja ya..."
 Ya, bahkan untuk nominal tujuh ribu saja warung itu merasa lebih nyaman menerima pembayaran nontunai pakai QRIS.
Beralih untuk pembayaran soto dan sate, total saya harus membayar 18 ribu rupiah. Lagi-lagi QRIS menjadi cara efektif untuk pembayaran. Sat-set tinggal tunjukkan layar hape ke penjualnya.
Tentu tidak semata sistem pembayaran nontunai lewat QRIS yang memberikan manfaat bagi pedagang seperti mereka, karena pemasukan bisa terekam secara rapi. Lebih dari itu ada sisi manfaat lain yang dirasakan lebih nyaman bagi pedagang maupun pembeli.
Warung itu tidak memiliki meja kasir tersendiri, artinya penjual yang melayani makanan atau minuman juga nyambi sebagai kasir. Tentu jika menggunakan transaksi konvensional, memakai uang kertas, setidaknya bakal mengganggu dan kurang higienis.