Pertama kalinya menginjakkan kaki di Pantai Amal, Tarakan, rasanya seperti daerah pantai pada umumnya. Tapi ketika saya mulai duduk di tepian pantai dan mulai terkena angin laut, mendadak muncul perasaan damai, syahdu, dan menyenangkan yang menyeruak.
Mata saya menatap jauh ke Laut Sulawesi yang membentang di hadapan saya. Seolah terasa kecil diri ini ketika dihadapkan semesta yang begitu luas.
Saat saya datang, air laut belum sepenuhnya menutupi tepi pantai yang tengah dijadikan arena bermain oleh sebagian pengunjung dan anak-anak. Tetapi lambat laun, semakin sore, air laut mulai meninggi, menutup daratan pasir berwarna putih kecoklatan yang semula terlihat.
Pemandangan lepas pantai juga terlihat menawan dengan birunya langit di atas laut. Benar-benar warna biru cerah bersih yang menandakan hampir tiada polusi udara di daerah ini.
Sungguh elok dan luar biasa menyaksikan semua itu. Sedikit melepas penat saya yang terbiasa melihat kendaraan dan manusia saling sikut di metropolitan.
Namun, lamunan yang sudah mulai menghanyutkan itu mendadak terdistorsi oleh kedatangan pemilik warung makan yang menyodorkan lembaran menu. Ya, niat saya Sabtu sore itu selain menikmati syahdunya Pantai Amal, adalah untuk mencoba kuliner yang konon hanya ditemukan di pantai ini.
Orang-orang di situ menyebutnya Kapah. Sejenis kerang laut yang ditangkap nelayan di daerah lautan sekitar Pantai Amal.