Mohon tunggu...
Widi Kurniawan
Widi Kurniawan Mohon Tunggu... Human Resources - Pegawai

Pengguna angkutan umum yang baik dan benar | Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Apakah Anak "Bodoh" dan "Nakal" Tidak Berhak Sekolah?

28 Juni 2024   14:06 Diperbarui: 29 Juni 2024   10:32 606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya saya tidak suka memakai istilah "bodoh" dan "nakal" untuk melabeli anak. Tetapi kali ini saya terpaksa menggunakan judul "bodoh" dan "nakal" dengan tanda kutip, karena memang istilah itulah yang mungkin lebih dimengerti oleh sebagian kalangan yang mengagung-agungkan nilai dan prestasi sekolah.

Keresahan saya muncul lagi ketika polemik soal penerimaan siswa baru melalui PPDB kembali mencuat. Menyikapi maraknya kecurangan PPDB, kembali ramai orang-orang berteriak agar sistem zonasi dihapuskan dan balik lagi ke sistem peringkat berdasarkan nilai.

Kalangan ini juga menganggap sistem zonasi menjadi biang kerok turunnya kualitas sekolah negeri favorit.

"Masak anak kita harus sekolah bareng yang bodoh dan nakal? Lebih baik pakai sistem nilai deh," tulis salah satu netizen, yang ironisnya di akunnya ia menuliskan nama lengkap beserta gelar akademik yang mentereng.

Bagi yang kontra dengan sistem zonasi, merasa bahwa sistem seleksi melalui nilai lebih fair. Ya, fair bagi mereka tentunya. Lalu bagaimana dengan mereka yang nilainya kurang dan dianggap bukan anak yang berperilaku baik? Apakah mereka tidak berhak mengenyam pendidikan?

Padahal sejatinya setiap individu memiliki keunikan dan potensi yang berbeda-beda. Label "bodoh" dan "nakal" sebenarnya timbul dari keberagaman anak-anak.

Keberagaman ini tercermin dari cara anak-anak menyerap, memroses, dan memahami materi pelajaran yang diberikan. Ada anak yang lebih paham belajar dengan metode mendengar, ada pula yang memang jago hafalan dari membaca teks.

Ada anak yang cepat memahami pelajaran di dalam kelas, tapi tak sedikit yang lambat belajarnya. Setiap anak tidak akan sama dalam hal menyerap pelajaran dan bertingkah laku terhadap sesama.

Itulah gunanya pendidikan. Jika di satu sekolah rata-rata siswanya pada dasarnya sudah pintar dan cepat belajar, maka mengenyampingkan anak yang berbeda dari mereka tentu bukanlah suatu keadilan.

Hal miris soal diskriminasi di ranah pendidikan ini faktanya terus terjadi. Ada siswa di sebuah sekolah dasar yang tiap tahun menjadi pembicaraan di kalangan orangtua dan para guru di sekolah tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun