Begitu sah berumur 17 tahun, orangtua saya saat itu mulai mengizinkan saya untuk memakai sepeda motor, termasuk ke sekolah. Rasa bangga dan merasa lebih keren adalah sensasi yang saya rasakan ketika awal-awal bisa mengendarai sepeda motor.Â
Namun, hal itu tak bertahan lama. Saat beberapa teman sebaya mulai mempengaruhi kepercayaan diri saya yang masih labil di usia segitu.Â
Sepeda motor saya kerap jadi bahan ledekan karena tampilannya masih standar. Dari mulai spion yang dibilang mirip tangan orang berdoa, hingga tebeng atau sayap yang masih lengkap dan juga knalpot yang masih biasa saja bawaan pabrik.Â
Beberapa teman saya bahkan sepeda motornya sudah protolan dengan knalpot dan velg diganti racing macam pebalap liar jalanan. Keren, kata anak-anak muda saat itu.Â
Namanya juga remaja yang mentalnya masih naik turun, saya pun mulai terpengaruh. Walau harus menghadapi rasa geram dari orangtua saya, sepeda motor bebek saya pun seolah ikut tertular tren saat itu.Â
Kedua sayap motor bebek itu saya lepas, spion pun diganti model di bawah setang yang bahkan nyaris tak bisa digunakan untuk melihat kendaraan di belakang. Sedangkan shock breaker ikutan kena korban karena saya ganti ring dudukannya menjadi lebih pendek.Â
Tak cukup itu saja, uang saku saya akhirnya terkumpul untuk membeli knalpot racing yang suaranya bisa bikin orang tidur siang bisa mendadak bangun jika mendengarnya.Â
Well, tampilan baru ini akhirnya membuat sepeda motor saya punya ciri khas sendiri dan tak ada lagi yang berani ngeledek saat dibawa nongkrong. Walau memang justru membuat orang-orang tua geleng-geleng kepala karena merasa aneh dan terganggu.Â
Untungnya, hal itu tak bertahan lama karena saya kemudian lulus SMA dan lanjut kuliah di luar kota. Lingkungan yang berbeda pun saya temui, dan saat itulah saya mulai sadar bahwa tak ada lagi yang peduli bentukan motor saya seperti apa.Â
Pada akhirnya, sepeda motor saya pun sudah kembali ke wujud semula. Knalpot racing murahan itu pun saya lepas dan ganti dengan yang aslinya.Â