Mohon tunggu...
Widi Kurniawan
Widi Kurniawan Mohon Tunggu... Human Resources - Pegawai

Pengguna angkutan umum yang baik dan benar | Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Perizinan Air Tanah dan Layanan PDAM yang Kurang Dipercaya

29 Oktober 2023   10:03 Diperbarui: 29 Oktober 2023   20:35 497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Pexels.com/Burst

Aturan baru tentang penggunaan air tanah yang diluncurkan pemerintah kembali menuai pro dan kontra. Masyarakat yang menggunakan air tanah lebih dari 100 ribu liter per bulan kini diwajibkan mengurus izin dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Aturan ini bertujuan sebagai upaya menjaga menjaga keberlanjutan air tanah. Perizinan tersebut juga dilakukan guna menjamin kepastian hukum, serta meningkatkan efektivitas dan efisiensi penggunaan sumber daya air pada sumber air tanah untuk kebutuhan bukan usaha.

Seperti biasa, banyak netizen langsung meradang dan berkomentar miring tanpa mempelajari substansi aturan terlebih dulu. Diperparah dengan media yang memancing dengan judul klik bait agar menuai reaksi terlebih dulu.

"Dikit-dikit izin, apa-apa izin, jangan-jangan nanti nafas juga izin," gerutu netizen di kolom komentar media sosial.

Saya, di rumah menggunakan air tanah dari sumur yang memang telah disediakan oleh pengembang perumahan sebagai paket yang saya terima sebagai pembeli rumah. Dengan aturan ini apakah saya harus mengajukan izin ke Kementerian ESDM?

Oh tentu tidak. Di rumah mungil kami hanya ada empat orang, 2 dewasa dan 2 anak-anak. Kebutuhan air tanah per orang rata-rata 100 liter per hari, sudah termasuk untuk mandi, nyuci, masak dan lain-lain. Itu sudah angka maksimal banget, padahal untuk air minum kami beli dari luar.

Jadi dalam sebulan, per orang rata-rata menghabiskan 3000 liter. Dikalikan 4 orang berarti dalam sebulan butuh 12 ribu liter air tanah. Sekali lagi itu angka maksimal loh, saya yakin angkanya juga tidak sebesar itu karena sehari-hari kami lebih banyak beraktivitas di luar rumah untuk kerja dan sekolah.

Jadi ngapain ngegas soal aturan perizinan tersebut jika untuk rumah tangga biasa tidak sampai mengonsumsi 100 ribu liter per bulan?

Namun, persoalan air tanah memang sudah mulai mengintai di sekitar tempat tinggal saya. Meskipun berada di daerah Kabupaten Bogor yang konon kaya dengan air, tetapi air tanah mulai menjadi isu yang perlu diperhatikan.

Area perkampungan di rumah saya saat ini termasuk tidak sering bermasalah soal ketersediaan air tanah. Tetapi herannya, tak jauh dari area tempat tinggal kami, sekitar 1 kilo meter, kerap bermasalah soal air tanah yang susah didapatkan meski telah menggali tanah hingga kedalaman 20 meter.

Usut punya usut, rupanya area tersebut memang sudah banyak berdiri industri, seperti ruko, usaha cuci mobil, rumah makan, perkantoran dan lain sebagainya. Hal tersebut turut berpengaruh terhadap ketersediaan air tanah untuk rumah tangga biasa.

Rebutan air tanah antara industri dengan rumah tangga biasa memang harus diatur. Dan semoga saja, aturan perizinan tersebut memang bisa mengatur ketersediaan air tanah khususnya manfaat bagi rumah tangga biasa.

Di beberapa daerah bahkan kerap terdengar konflik antara masyarakat dengan pemilik usaha seperti hotel dan apartemen mengenai dampak penggunaan air tanah bagi usaha yang mengabaikan perizinan dari yang berwenang. Air tanah bagi kebutuhan masyarakat rupanya tersedot ke penggunaan usaha yang menggunakan mesin lebih besar.

Bagaimana dengan PDAM?

Nah ini dia. Logikanya, ketika masyarakat lebih nyaman dan percaya dengan air sumur sendiri dibandingkan langganan PDAM, tentu ada hal yang dianggap kurang dari PDAM.

Masih banyak orang yang tidak mempercayai air dari PDAM karena perkara kualitas air, harga yang kian mahal, serta sering mati di saat-saat tertentu. Meskipun relatif dekat dengan kantor PDAM, rumah-rumah di sekitar tempat tinggal kami bahkan lebih banyak yang mengandalkan sumur sendiri.

Hal paling ironis lagi terjadi di rumah orang tua saya di daerah Temanggung, Jawa Tengah, yang seharusnya tak bakal kesulitan air karena dikelilingi oleh mata air dari gunung-gunung di sekitarnya.

Eh, ternyata orang tua saya yang langganan PDAM juga kerap mengalami mati air. Rumah tersebut memang tidak memiliki sumber air sumur sendiri.

Paling gemes adalah saat lebaran. Seolah menjadi rutinitas ketika pagi hari di kala orang-orang bersiap berangkat sholat Ied ternyata saat itu juga selama bertahun-tahun ini aliran air PDAM di rumah orang tua saya selalu mati tepat jelang Subuh di hari lebaran.

Alhasil, malam sebelumnya atau di malam takbiran, kegiatan rutin kami saat mudik lebaran adalah menampung air sebanyak-banyaknya di bak, ember serta panci sekalipun agar saat di hari H lebaran tidak kehabisan air.

Kan nggak lucu dong mau sholat Ied justru muka kusam dan bau gara-gara tidak mandi.

Persoalan air tanah memang ibarat bom waktu seiring bertambahnya jumlah penduduk di muka bumi. Saat ini aturan perizinan memang menyasar bagi konsumen besar air tanah, bukan tidak mungkin kelak bakal diatur hingga skala kecil rumah tangga.

Sebelum itu terjadi, maka peran PDAM harus ditingkatkan. Terutama layanan yang memang bisa diandalkan untuk kebutuhan masyarakat luas. Sebuah PR besar bagi PDAM di setiap daerah agar layanannya mampu dipercaya masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun