Begitu sampai dekat titik tersebut, dia akan segera membuangnya ke tempat itu.
Mirisnya, saya pernah memergoki anak kecil menggunakan sepeda motor yang membuang sampah di lokasi tersebut. Bisa diperkirakan, kalau tidak disuruh orang tuanya, mana mungkin anak kecil kira-kira masih SMP mau-maunya buang sampah di situ.
Seorang warga yang tinggal paling dekat dengan lokasi tersebut bahkan pernah berinisiatif memasang kamera CCTV yang mengarah ke lokasi pembuangan sampah. Tak cukup dengan itu, ia pun memasang tulisan bahwa yang terekam membuang sampah di area tersebut fotonya bakal dipasang di tempat umum.
Namun, lagi-lagi langkah tersebut gagal total. Kini bahkan tak ada lagi CCTV terpasang untuk memantau para pembuang sampah sembarangan.
Bagi warga yang tinggal di dekat tanah kosong yang dijadikan pembuangan sampah memang tidak mengenakkan. Dulu saya pernah mengalaminya ketika di depan rumah lama saya jadi sasaran pembuangan sampah.
Bau menyengat kerap tercium, demikian pula hewan-hewan seperti kucing liar, tikus hingga lalat kerap menyambangi tempat itu.
Itulah mengapa pada akhirnya warga yang tinggal dekat pembuangan sampah terpaksa harus membakar sampah jika sudah dianggap menumpuk dan mengganggu. Meskipun tahu jika membakar sampah bukan langkah yang dibenarkan, tetapi kondisi lah yang memaksa.
Ketika si pemilik tanah tidak pernah nongol, dan para pembuang sampah terus saban hari kucing-kucingan membuang sampah. Maka warga yang tinggal dekat situ mau tak mau mengambil langkah instan: bakar sampah.
Serba salah memang.
Urusan sampah dari zaman Lionel Messi masih bocah hingga kini sudah main di Miami, seolah tak kunjung menemukan solusi tepatnya. Kian banyak penduduk, kian banyak rumah, kian menumpuk pula sampah yang dihasilkan.