Lebaran usai, tapi kita masih dalam suasana saling memaafkan. Keluarga, tetangga, teman-teman, kolega, hingga rekan-rekan di dunia maya. Terasa sah jika sudah saling berjabat tangan, dan terasa lunas jika sudah bertukar pesan singkat.
Benarkah sesederhana itu untuk saling memaafkan? Benarkah kita sudah memafkan orang lain tanpa kecuali?
Barangkali, ketika kita memaafkan orang lain dengan ikhlas, tanpa embel-embel, lebih mudah jika ditujukan pada keluarga sendiri, teman dekat dan orang-orang yang kita kenal.
Sebuah kesalahan fatal pun, jika yang melakukan seseorang yang kita kenal, kita akan berusaha memahami dan menelisik penyebab orang tersebut melakukan hal tersebut. Setelah melalui renungan yang mendalam, bisa jadi kita akan sanggup untuk ikhlas memaafkan.
Terlebih di momen hari raya Idulfitri, terkadang tak perlu berpikir panjang untuk bisa memaafkan seseorang yang kita kenal.
Namun, berbeda ketika berbicara tentang hubungan kita dengan manusia-manusia yang kita temui di ruang publik dan yang tak kita kenal secara pribadi. Terkadang kita lupa dan enggan untuk berusaha memaafkan mereka ketika terjadi salah paham.
Pernahkah Anda dibuat jengkel oleh orang-orang yang menyerobot antrean? Mungkin pernah terjadi saat mengantre di kasir minimarket, saat mengantre di ATM, atau saat mengantre makanan di kondangan.
Sudahkah detik ini Anda memaafkan mereka? Jika sudah alhamdulillah, tetapi jika Anda masih saja mengungkitnya dengan menceritakan momen tersebut kepada orang lain secara berulang-ulang setiap kali teringat, sepertinya Anda belum bisa memaafkan dengan baik.
Atau pernahkah Anda merasa kesal dan protes ketika mendapat pelayanan buruk saat berada di restoran, di bank, di kantor kelurahan, di toko, atau di manapun itu?
Lalu hingga sekarang pun Anda masih mengungkit-ungkit kesalahan mereka, bahkan sampai menyebut nama mereka yang Anda baca dari nametag mereka. Bisa jadi kesalahan mereka akibat sistem pelayanan yang buruk, bukan pribadi mereka yang ingin merugikan kita.