Bisa jadi pula mereka tengah mengalami satu hari yang buruk dan apesnya ketemu kita yang menuntut pelayanan prima. Jika sampai menyulut emosi, terkadang teramat fatal imbasnya. Selain penyakit hati, bisa pula merembet ke pertikaian lanjutan.
Belakangan ini juga kerap tersiar kabar viral terjadinya penganiayaan di jalanan dan ruang publik lainnya. Dengan gampangnya seseorang tersulut emosi dan egonya sehingga perlu menghajar seseorang yang dianggap bersalah kepadanya.
Salah satu contohnya adalah kejadian seorang pengendara motor dihajar sampai kejang-kejang hanya gara-gara senggolan dengan pelaku. Padahal sebelum dihajar, korban sudah meminta maaf berulang kali. Tapi rupanya sulit bagi pelaku untuk memaafkan karena sudah diselimuti emosi yang menutupi akal dan perasaan.
Kejadian emosi di jalanan memang sering sekali terjadi. Walau tak sampai pada kejadian seperti di atas, tapi mengumpat, mengancam hingga menantang berkelahi seolah menjadi hal yang biasa.
Padahal pemicunya kadang cuma sepele, seperti kaget dan hampir terserempet. Ada pula pemicu semodel kesal karena merasa ditatap matanya.
Dunia ini memang isinya tentang ego dan kepentingan. Seolah sedikit saja tersenggol, muncullah prinsip "tiada maaf bagimu". Sesulit itukah memaafkan orang lain?
Masih banyak orang yang berlaku keras pada sebuah perbedaan. Gemar mencerca dan mudah tersinggung tanpa alasan yang kuat. Kerap menyalahkan dan bahkan membuli ketika muncul secuil kesalahan tanpa disengaja.
Tengoklah juga dunia maya dengan media sosialnya. Kolom komentar kian marak dengan komentar-komentar saling menyalahkan dan merasa paling benar.
Sebuah pemilihan kata yang keliru, tak jarang juga menyulut amarah. Padahal berusaha memahami dengan berpikir jernih serta kemudian mencoba memaafkan adalah yang mesti dikedepankan.
Jika kecenderungan ini terus terjadi, sebaiknya lupakan soal klaim "kemenangan" di hari raya Idulfitri. Sebenarnya kita tidak sedang "menang" karena masih menyisakan residu-residu yang jika terus menumpuk bakal berujung pada penyakit hati.