Pagi itu peron jalur 7 di Stasiun Manggarai sudah dipenuhi manusia yang tengah menunggu datangnya KRL Commuterline dari arah Bekasi. Lautan penumpang itu rata-rata adalah penumpang dari arah Bogor/Depok yang transit untuk menuju arah Sudirman dan Tanah Abang.
Ketika KRL tiba dan pintu kereta dibuka, sejumlah penumpang tampak turun tergesa agar langkahnya tidak terhambat serbuan penumpang yang menahan kesabaran untuk segera naik.
Saya menjadi salah satu penumpang yang saat itu ikut menyerbu naik. Maklumlah, telat sedikit bisa berabe. Entah jam berapa sampai di tempat kerja.
Setelah berjibaku beberapa saat, saya mendapatkan posisi di dekat pintu, di sisi ujung bangku penumpang.
Eh tapi, lha kok kaki saya nyangkut sesuatu? Rupanya ada sebuah sepeda lipat di situ. Terimpit padatnya manusia dalam KRL. Entah siapa pemiliknya, sepertinya tidak ada di sisi sepeda itu. Mungkin ia terdesak hingga bagian dalam kereta.
Baru kali ini saya mendapati sepeda lipat masuk KRL di kala jam sibuk pagi hari. Bukannya dilarang, tetapi memang kepadatan penumpang kian ngeri saja, sehingga pengguna sepeda lipat mesti mikir seribu kali untuk naik di jam sibuk.
Selain berpotensi merepotkan diri sendiri, keberadaan sepeda lipat juga bisa bikin penumpang lain terganggu atau malah merasa was-was jika tak sengaja merusakkan sepeda tersebut.
Seperti saya pagi itu, dalam posisi terjepit oleh penumpang lain, juga harus mencoba menjaga agar kaki saya tidak menekan sepeda lipat milik orang lain. Kalau rusak kan nggak enak juga urusannya.
Sepeda yang tak sengaja terdorong-dorong oleh penumpang juga bisa merusakkan bagian KRL. Misalnya cat body kereta atau kaca pembatas tempat duduk.
Beberapa hal itu memang sudah menjadi risiko ketika sepeda lipat dibawa naik KRL Commuterline. Menjadi simalakama ketika dikaitkan dengan kampanye mengurangi emisi sekaligus gerakan mengolahragakan masyarakat.