Mohon tunggu...
Widi Kurniawan
Widi Kurniawan Mohon Tunggu... Human Resources - Pegawai

Pengguna angkutan umum yang baik dan benar | Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Mulan Jameela, Kompor Listrik, dan Solusi Energi Alternatif

24 September 2022   14:02 Diperbarui: 24 September 2022   18:29 1558
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kompor listrik sedang jadi polemik. Sebelum terlalu jauh menyimpulkan baik buruknya kompor listrik, tentu sebaiknya menggali pendapat kalangan emak yang tiap hari menguasai area dapur.

"Ngapain sih nanya-nanya kompor listrik? Jangan-jangan Ayah diajak jadi buzzer kompor listrik ya?! Awas ya, jangan mau Yah!" cerocos istri saya, seolah curiga dengan gelagat saya mengajaknya diskusi soal kompor listrik.

Saya sih nyengir aja dikira mau jadi buzzer kompor listrik. Faktanya sampai sekarang enggak ada yang nawarin, haha.

Namun, menariknya, tak biasanya istri saya kontra banget terhadap sebuah kebijakan baru. Sekilas bahkan saya melihat sosok Mulan Jameela di istri saya, eh.. (salah... salaaaah!!!).

Ya, baru-baru ini sebagai anggota DPR RI Komisi VII, Mulan Jameela menyuarakan pendapat bahwa kebijakan kompor listrik harus dikaji ulang. Ia melihat bahwa program konversi kompor gas ke kompor induksi ini menyelesaikan masalah dengan masalah baru. Nggak cocok dengan masakan Indonesia.

Melihat Mbak Mulan bicara, kali ini saya harus mengangguk-angguk setuju. Demikian pula dengan argumen yang diutarakan istri saya.

"Kalau misal kita ganti kompor listrik, Ayah nggak bakalan bisa bikin nasi goreng lagi!" ujarnya.

Lah, bener juga ya? Kompor listrik induksi yang dibagikan pemerintah memang tidak mendukung peralatan masak seperti panci dan wajan dengan pantat cembung. Harus flat.

Sebagai orang yang mengaku hobi masak nasi goreng, dan nasi goreng saya selalu ditunggu-tunggu anak dan istri, jelas saya menolak ide untuk menggoreng nasi goreng dengan wajan datar di atas kompor listrik. Seninya di mana coba? Soalnya memasak kan termasuk seni juga dong.

Saya tidak bakal bisa melakukan gaya aduk-aduk nasi khas abang-abang nasi goreng. Sesekali nasinya bahkan bisa terbang-terbang ke udara, dan sesekali pula saya harus memukul-mukul sodet ke pinggiran wajan.

Gaya memasak nasi goreng ala saya bahkan menggunakan jurus memainkan besaran api. Kadang harus besar, kadang pula harus pakai api kecil.

Kalau pakai kompor listrik? Aduuuh... walaupun ada pengaturan panas, tetap saja terasa nggak cocok diterapkan untuk kebiasaan masak kami.

Nggak usah jauh-jauh membayangkan betapa repotnya masak buat hajatan atau jelang lebaran menggunakan kompor listrik. Bahkan, untuk sehari-hari saja, bagi keluarga yang terbiasa mengandalkan wajan cekung jelas menjadi problem tersendiri.

Wajan cekung memang menjadi salah satu ciri khas budaya masak beberapa negara Asia, dan Indonesia tentunya. Nenek moyang kita menciptakannya seiring warisan masakan lezat yang turun temurun entah sudah berapa ratus tahun lamanya.

Masak telur ceplok saja, bakal berbeda hasilnya antara wajan teflon dan wajan cekung. Telur ceplok dengan wajan teflon bakal beleber tepi luarnya, sementara pakai wajan cekung bisa menghasilkan bentuk lingkaran yang sempurna dan kegosongan sesuai selera.

Belum lagi mau bikin tempe goreng tepung atau semacam peyek dengan tepung tipis, hingga kalau mau menggoreng kerupuk. Sangat tidak gorengan-able ketika pakai wajan permukaan datar.

Wajan andalan saya khusus gorengan tepung (foto by widikurniawan)
Wajan andalan saya khusus gorengan tepung (foto by widikurniawan)

Sebagai warga yang tinggal di daerah yang listriknya masih kerap mati kalau hujan deras, mengandalkan kompor listrik semata jelas beresiko. Bayangkan pas bulan puasa mau masak untuk sahur, eh malah listriknya mati atau tokennya bunyi dengan merdu.

Auto panik itu pastinya.

Maka dari itu, kompor listrik memang tidak bisa diandalkan sebagai piranti utama. Ini kalau saya ya, mungkin beda di keluarga anda.

Sebaiknya tetap ada kompor gas di samping kompor listrik. Bisa saling melengkapi satu sama lain.

Saya pun di rumah tidak serta merta menolak piranti masak berbasis energi listrik. Ada air fryer di rumah saya yang kini kerap digunakan untuk menggoreng tanpa minyak, dan menghangatkan makanan tertentu.

Air fryer ini pun tidak bisa digunakan untuk menggoreng makanan tipe gorengan tradisional yang butuh minyak goreng macam kolam renang. Lebih pada jenis masakan kekinian yang resepnya harus dicari dulu di media sosial, dan tentunya yang praktis-praktis saja.

Mencari solusi dari energi alternatif

Persoalan gas subsidi yang dikonversi ke arah kompor listrik ini seolah menepikan hal lain seperti keberadaan energi alternatif untuk kebutuhan rumah tangga.

Sebut saja pemanfaatan gas metana dari pengelolaan sampah rumah tangga untuk memberikan pasokan gas dan listrik. Saat ini beberapa daerah, utamanya di area tempat pembuangan akhir (TPA) yang memanfaatkan gas metana untuk kebutuhan energi rumah tangga.

Instalasi gas metana di TPA Puuwatu, Kendari (foto by widikurniawan)
Instalasi gas metana di TPA Puuwatu, Kendari (foto by widikurniawan)

Tahun 2013 silam, saya sempat mengunjungi TPA Puuwatu di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara dan menjadi saksi pemanfaatan gas metana dari sampah untuk kebutuhan gas dan listrik di perumahan warga di sekitar TPA.

Maka, kebutuhan untuk masak sehari-hari pun bisa terpenuhi secara gratis. Pipa-pipa gas disalurkan dari pengelolaan gas metana di TPA ke perumahan warga.

Pemanfaatan gas metana untuk memasak (foto by widikurniawan)
Pemanfaatan gas metana untuk memasak (foto by widikurniawan)

Hanya saja, sembilan tahun berlalu, ternyata hal positif semacam ini belum banyak ditiru dan dikembangkan secara nasional. Bayangkan saja andai ada kebijakan nasional untuk hal ini.

Di satu sisi pengelolaan sampah bakal beres, dan di sisi lain pasokan energi untuk masyarakat pun tak lagi tergantung dengan listrik PLN dan gas elpiji bersubsidi.

Well, entah kendala apa yang menyertainya. Tapi teringat hal itu, rasanya pengen mengajak Mbak Mulan Jameela (ehemmm...) untuk datang ke TPA yang sudah berhasil mengelola gas metana untuk memasok energi bagi warga sekitar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun