Sejak kecil saya sudah terbiasa dengan lingkungan yang terdiri dari orang-orang berbeda agama. Di lingkungan sekolah sejak SD hingga SMA, tiap kelas yang saya huni selalu saja ada anak-anak yang berbeda agama. Hal itu tak pernah menjadi problem, baik ketika belajar maupun berteman. Semua berjalan baik-baik saja.
Perbedaan tak hanya berada di luar keluarga besar kami. Bahkan, ada adik-adik kandung ayah saya yang berbeda agama, yang tentunya menurun ke sepupu-sepupu saya yang berjumlah banyak.
Apakah menjadi masalah?
Sejauh ini kami mampu menempatkan posisi masing-masing dengan baik. Saling menghargai keyakinan satu sama lain. Bukan karena masih terikat persaudaraan dalam keluarga besar, tetapi karena memang perbedaan keyakinan justru mampu membuka mata dan mendewasakan kami.
Selama berpuluh-puluh tahun, kami belajar bagaimana seharusnya hidup berdampingan tanpa harus melewati batas keyakinan.
Sejauh ini, momen seperti silaturahmi atau pertemuan di hari raya keagamaan, pernikahan, hingga kelahiran, dapat diikuti oleh saudara-saudara yang berbeda agama. Bahkan sampai dengan prosesi ketika ada yang meninggal, bagi yang berbeda agama tentu akan otomatis menghormati bagaimana prosesi pemakaman sesuai keyakinan masing-masing.
Sejatinya toleransi beragama bukanlah terwujud karena enak atau enggak enak. Bukan pula karena keterpaksaan. Mungkin ada yang beranggapan "ya iyalah saudara sendiri, makanya bisa rukun walau beda agama".
Namun, toleransi, kerukunan, atau apalah istilahnya, bisa terwujud jika ada dorongan kerelaan atau ikhlas dari diri sendiri. Sebaik-baiknya toleransi, sebenarnya tak membutuhkan timbal balik.
Bukan karena saya ingin dihargai dan diberi ucapan selamat ketika saya merayakan hari raya agama saya, sehingga saya berbuat baik terhadap orang yang berbeda keyakinan. Bukan, seperti itu.
Bagi saya, bertoleransi bisa bermakna kerelaan menghargai orang lain dengan keyakinan agamanya, tanpa harus peduli apakah ada sesuatu hal yang saya dapatkan.