Minyak goreng kembali dengan harga mencekik beberapa saat sebelum bulan Ramadhan. Stoknya tak lagi menghilang, tapi harganya itu lho, keterlaluan.
Segala imbauan agar masyarakat mencari alternatif memasak tanpa minyak goreng justru terasa ironis. Ya, bagaimanapun ketergantungan sebagian besar masyarakat Indonesia terhadap minyak goreng sudah terlalu besar.
Lupakan dulu soal gizi dan efeknya terhadap kesehatan. Faktanya, kenikmatan masakan Indonesia tuh sebagian besar karena ada unsur gorengnya.
Contoh saja soto ayam, kuliner yang hampir ada di setiap daerah. Meski wujudnya adalah makanan berkuah, tapi bukan berarti menepikan proses goreng-menggoreng.
Seporsi soto ayam lebih enak kalau daging ayamnya digoreng terlebih dahulu baru disuwir-suwir. Ditambah lagi taburan bawang goreng, tempe goreng dan krupuk.
Setuju kan?
Jika ingin melihat bagaimana ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap minyak goreng, maka bulan Ramadhan ini adalah waktu yang tepat. Bulan Ramadhan tanpa minyak goreng, bagi saya tak terbayangkan bagaimana hambarnya.
Coba kita tengok di saat ngabuburit. Jenis makanan apa yang paling banyak dijajakan oleh penjual takjil dadakan di pinggir-pinggir jalan? Pastinya segala macam gorengan menjadi favorit dan terlaris.
Sebut saja bakwan, mendoan, tahu isi, tahu bakso, risol, dan kawan-kawan. Dicocol pakai cabe atau sambal, aneka gorengan itu sudah terlalu akrab dengan lidah sebagian besar masyarakat Indonesia.
Sangat susah melepaskan diri dari ketergantungan gorengan ini. Kecuali sih (amit-amit ya) sudah ada warning dari dokter untuk menghindari makan gorengan.