Bahkan saya datang ke lokasi vaksinasi sore hari dan hampir ditolak karena nyaris terlambat. Tapi untungnya kuota masih tersedia dan saya pun bisa antre untuk divaksin.Â
Seperti biasa, usai proses registrasi, calon penerima vaksin harus diperiksa tekanan darahnya. Setelah itu, petugas kesehatan menanyakan hal-hal terkait kondisi saya.Â
Apakah saya mengonsumsi obat-obatan selain vitamin. Saya jawab tidak.Â
Apakah saya pernah menderita penyakit-penyakit tertentu. Saya jawab tidak.Â
Apakah saya pernah kena Covid-19. Saya juga jawab tidak.Â
Kemudian ditanya pula apakah saya sudah sarapan dan makan siang. Saya sempat ngelag sebentar untuk menjawabnya, karena biasanya itu sebuah ajakan untuk makan bareng. Tapi untunglah saya sadar jika yang nanya mbak dokter, bukan untuk ngajak makan bareng. Hehe.Â
Selanjutnya dokter menjelaskan bahwa vaksin booster yang akan saya dapatkan adalah setengah dosis Pfizer. Jika ada keluhan demam setelah vaksinasi, saya disarankan untuk meminum paracetamol.Â
Ok, noted.Â
Usai menjalani rangkaian proses itu, saya mesti pindah meja untuk mendapatkan vaksinasi. Petugas di meja ini tampak mengambil botol kecil berisi cairan vaksin yang kemudian ia pindahkan ke alat suntik.Â
Saya harus memastikan melihat seluruh proses itu, sebagai antisipasi mengingat beberapa waktu lalu ada berita viral soal penyuntikan tanpa isi apapun.Â
Nah, begitu jarum suntik masuk ke lengan kiri saya, rasanya kok agak beda dengan dua vaksinasi awal. Ini mah bukan digigit semut biasa. Ini mbahnya semut, pikir saya. Lebih strong dan nyeri, walau tak sesakit ketika perasaan bertepuk sebelah tangan. Eaa..Â