Mohon tunggu...
Widi Kurniawan
Widi Kurniawan Mohon Tunggu... Human Resources - Pegawai

Pengguna angkutan umum yang baik dan benar | Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Istri Melahirkan, Seberapa Penting Suami Ambil Cuti?

9 Juni 2021   12:37 Diperbarui: 9 Juni 2021   18:53 1205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hak cuti bagi suami ketika istri melahirkan ternyata masih belum dipahami dan dimanfaatkan dengan baik. Padahal jenis cuti ini amat penting mengingat kelahiran adalah salah satu momen pembangunan pondasi keluarga.

Bagi karyawan swasta, aturan dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memang tidak menyebut sebagai cuti, tapi sebagai keadaan di mana pekerja dapat tidak masuk bekerja dengan tetap mendapatkan upah sebagaimana mestinya. Besaran upah yang dibayar adalah untuk dua hari.

Hingga kini aturan tersebut masih menjadi polemik mengingat waktu dua hari tetap digaji untuk menemani istri melahirkan dirasakan masih kurang. Mengakomodir hal itu, sejumlah perusahaan merasa perlu menghormati hak-hak ayah dan keluarganya, sehingga menerapkan kebijakan internal untuk memberikan hak cuti bagi suami yang mendampingi istri saat melahirkan. Tentunya dengan gaji tetap dibayarkan.

Sedangkan bagi PNS, aturan tentang cuti ini tercantum dalam Peraturan Badan Kepegawaian Negara Nomor 24 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pemberian Cuti Bagi Pegawai Negeri Sipil.

Cuti bagi PNS tersebut masuk dalam kategori cuti karena alasan penting. Dalam ketentuannya disebutkan bahwa PNS laki-laki yang istrinya melahirkan/operasi caesar dapat diberikan cuti karena alasan penting dengan melampirkan surat keterangan rawat inap dari Unit Pelayanan Kesehatan. Jangka waktunya pun ditentukan paling lama satu bulan.

Bagi PNS aturannya terlihat lebih "mengenakkan", tapi persyaratan seperti surat keterangan rawat inap kerap jadi batu sandungan ketika misalnya istri tidak perlu rawat inap saat melahirkan. Kemudian jangka waktu maksimal satu bulan juga merupakan kewenangan pejabat yang memberikan cuti, bukan "semau gue" pegawai yang mengajukan cuti.

Pada kenyataannya, baik karyawan swasta maupun PNS yang menghadapi momen kelahiran anaknya, terpaksa menggunakan hak cuti tahunan untuk keperluan tersebut. Maka jauh-jauh hari sebelumnya, hak cuti tahunan tidak akan diambil lebih dulu sebelum masa kelahiran anak.

Sebenarnya apa sih urgensinya cuti bagi suami yang istrinya melahirkan? Kenapa di beberapa negara lain dan perusahaan-perusahaan besar malah mengakomodir bahkan bisa sampai enam bulan lamanya?

Bagaimanapun kehadiran suami dalam proses kelahiran sang anak sangat penting bagi istri. Masa sebelum, pada saat proses kelahiran hingga usai melahirkan adalah momen-momen vital ketika seorang istri butuh pendamping, penyemangat, dan orang yang siap sedia membantu.

Apalagi jika proses kelahiran harus dilalui dengan kondisi yang memerlukan penanganan medis khusus. Seperti halnya pengalaman saya mendampingi kelahiran anak kedua yang harus melalui operasi caesar. Saat itu selama beberapa hari istri belum bisa kembali berjalan dan harus menjalani rawat inap sekitar lima hari.

Tentu sebagai suami, kita dituntut bisa lincah bergerak sana-sini dan selalu siap sedia menyiapkan berbagai kebutuhan istri dan anak. Demikian pula ketika sudah kembali pulang ke rumah, bukan berarti selesai dan baik-baik saja. Masih ada hari-hari selanjutnya yang bisa penuh drama.

Tugas merawat bayi baru lahir tidak hanya menjadi tugas istri atau malah diserahkan pada orang tua kita. Suami harus tanggap jika istri butuh istirahat maupun uluran tangan.

Belum lagi jika masih ada anak-anak lainnya di rumah yang masih kecil dan perlu diurusi. Suami jelas tidak bisa leha-leha tiduran atau malah asyik nongkrong saat keadaan rumah pasti sedang "hectic".

Soal memandikan bayi, mengganti baju dan popok serta mencuci pakaian bayi, mestinya suami juga terlibat dan turun tangan. Hal itu merupakan bentuk bonding atau ikatan emosional yang terjalin sejak anak kita lahir ke dunia.

Kehadiran suami juga bakal meminimalisir potensi depresi yang beresiko diderita oleh seorang ibu yang baru melahirkan. Lelah luar biasa disertai kondisi ketika merasa sendirian atau ditinggalkan, bisa memicu seorang ibu mudah emosional dan mengalami depresi yang bisa berakibat fatal.

Cuti bagi suami ketika istrinya melahirkan, juga dimaksudkan sebagai waktu untuk mengurus dan menyelesaikan segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan administrasi. Misalnya urusan administrasi berkenaan dengan asuransi, pembayaran rumah sakit, hingga pembuatan akta kelahiran anak. Berdasar pengalaman saya, segala urusan administrasi tersebut bisa menyita banyak waktu.

Waktu sebulan pun bahkan mestinya tidaklah cukup untuk cuti suami, terlebih cuma dua hari. Maka jika sampai cuti tahunan diambil demi mendampingi istri, jelas potensi "jenuh" suatu saat dalam bekerja, justru bakal mengancam, dan tentunya bisa berpengaruh terhadap kinerja karyawan atau pegawai tersebut.

Cuti saat istri melahirkan, kenapa justru tidak dimaksimalkan?

Namun, terkadang mengherankan jika melihat ada karyawan swasta, terlebih PNS yang justru tidak memanfaatkan jatah cuti dengan sebaik-baiknya ketika istrinya melahirkan.

Banyak faktor yang menjadi alasan, tapi jika karena alasan supaya gaji atau penghasilannya tidak dipotong, tentu masih bisa diterima. Kalau begini ya memang regulasinya yang perlu disesuaikan lagi.

Ada pula yang beralasan karena atasan dan rekan kerja di kantor seolah-olah tidak membuat nyaman karyawan atau pegawai tersebut saat menjalani cuti. Sudah ribet di rumah, eh telepon dan pesan dari kantor selalu saja datang merecoki dengan pertanyaan ini dan itu tentang pekerjaan.

Inilah yang memerlukan pemahaman seluruh unsur perusahaan atau instansi. Momen mendampingi istri melahirkan bukanlah momen santuy sambil ngopi di rumah aja. Nggak gitu juga dong konsepnya.

Namun, yang lebih parah adalah suami yang sengaja hanya meluangkan waktu sangat singkat mendampingi istrinya meskipun dia punya kesempatan untuk memanfaatkan cuti tahunan. Bisa jadi karena merasakan bahwa aktifitas di rumah justru lebih melelahkan dibandingkan ketika pergi bekerja di kantor.

Alasan mengada-ada jenis suami seperti inilah yang perlu diluruskan. Perjuangan istri tidak hanya selama mengandung sembilan bulan ditambah kesakitan saat proses persalinan. Setelah itu masih berat dan melelahkan bagi istri.

Maka, hadirlah para suami. Dampingi istrimu saat melahirkan dan hari-hari setelahnya semaksimal mungkin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun