Gula pasir masih saja ngumpet entah di mana, benar-benar langka. Kondisi ini sebenarnya sudah berlangsung lebih dari 2 bulan dan kini kelangkaan stoknya malah mengancam orang-orang di awal Ramadan.Â
Ya jadi susah dong mau berbuka dengan yang manis? Masak buka puasa minumnya teh tawar mulu? Duh.
Gula pasir bahkan seolah telah melupakan tempat nongkrongnya di rak-rak minimarket, karena tiap kali ke sana selalu kosong. Kalaupun ada, gula pasir kadang kepergok di warung-warung tertentu saja, itupun tanpa merk dan sudah diplastik per seperempat kilo gram dengan harga per plastiknya Rp5.000. Jadi kalau dihitung per kilo gram jatuhnya di harga Rp20.000.
Pandemi Covid-19 memang membuat saya lebih hafal harga-harga barang kebutuhan pokok. Hal ini karena saya sudah lebih dari sebulan menjalani stay at home dan bekerja dari rumah alias work from home (WFH). Maka tugas pergi keluar rumah untuk belanja barang kebutuhan saya ambil alih full, berbagi tugas dengan isteri yang fokus di wilayah domestik dalam rumah.
Pagi hari sebelum melakukan aktivitas WFH, biasanya saya sudah menyambangi warung sayuran dan sembako terdekat. Berbekal masker, hand sanitizer dan kantong belanja sendiri (serta uang belanja tentu saja), saya berangkat bak seseorang menuju medan perang. Maklumlah di daerah kami termasuk zona merah di wilayah Kabupaten Bogor dan sudah berlaku pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Ternyata dalam situasi serba tak menentu ini sangat dibutuhkan perhitungan cermat untuk menentukan prioritas belanja. Misalnya ketika harga bawang bombay melejit sampai seratusan ribu lebih per kilogram (saya sampai nggak tega tanya harga pastinya karena saking mahalnya), maka lebih baik nyerah dan cukup menggunakan bawang putih sebagai bumbu dapur alternatifnya.
Memasuki awal Ramadan tahun ini, harga bawang putih di warung sayur langganan saya pun cukup aman di kisaran Rp 38.000 per kilogram. Tentu saja masih cukup terjangkau di kalangan konsumen, meskipun dari kabar yang beredar lewat jejaring sosial membuat petani bawang putih di kampung halaman saya, Temanggung, sempat teriak karena kebijakan impor. Duh, dilematis.
Sementara harga bawang merah ternyata lama-lama bisa membuat air mata mengucur deras seperti halnya kalau kita mengupasnya. Senin (27/04/2020) kemarin, seperti biasa kalau belanja di warung saya hanya menyebut harga sekian rupiah saat membelinya.
"Bang, bawang merahnya lima ribu aja," ujar saya.
Dengan cekatan si abang penjual mengambil sejumput bawang merah, dan menimbangnya sejenak, tapi ternyata jumlahnya tak sebanyak seperti biasa.
"Lho dikit amat Bang? Emang sekilo berapa harganya?" tanya saya.
"Empat puluh delapan ribu, Pak," jawabnya, membuat saya speechless, hampir nangis rasanya. Iya mau nangis dalam hati karena masih muda begini dipanggil dengan sebutan "Pak".
Bagaimana dengan cabai? Pastinya nggak ada cabai nggak ramai dong. Biasanya yang saya beli adalah jenis cabai rawit merah atau akrab disapa dengan cabai setan. Jenis cabai ini memang paling mantap kalau untuk bikin sambel.
Ternyata memasuki bulan Ramadan, harga cabai rawit merah ini masih nangkring di kisaran Rp40.000 per kilo gram. Untungnya ketika Ramadan saya tidak terlalu banyak butuh cabai untuk nyambel, supaya perut lebih aman saat puasa. Bahkan untuk rencana jangka panjang, sudah saya siapkan untuk antisipasi kebutuhan cabai, yaitu mulai menanam sendiri sebagai salah satu kegiatan stay at home, khususnya di akhir pekan.
Apalagi saat puasa, telur ayam jelas merupakan pilihan paling praktis untuk sahur dan menjadi kebutuhan yang sebisa mungkin selalu ada tersimpan di dapur.
Situasi pandemi Covid-19 sepertinya justru menjadi berkah tersendiri bagi para penggemar telur ayam negeri, paling tidak di daerah sekitar saya tinggal.Â
Bagaimana tidak, dua pekan belakangan ini di daerah saya tinggal, tiba-tiba saja muncul penjual grosiran telur ayam negeri yang mengaku distributor dan kini langsung melayani pembeli eceran. Katanya mereka lebih menguntungkan menjual sendiri daripada memasok dari warung ke warung seperti sebelumnya.
Harganya pun cukup bisa diterima akal sehat. Jika sekira dua bulan yang lalu sempat tembus harga Rp25.000 hingga Rp27.000 per kilogram, kini dengan label harga "lockdown" menyambut corona dan memasuki Ramadan, harganya sudah di nominal Rp22.000 per kilo gram. Bahkan tak jauh dari kios tersebut juga muncul pedagang lainnya yang mematok harga Rp 21.000 per kilo gram.
Terbukti berbekal spanduk promosi harga "lockdown" dan tulisan harga yang mencolok membuat penjual tersebut mampu menarik perhatian konsumen. Jika sebelumnya banyak yang beli di warung kelontong, kini konsumen mulai beralih ke penjual telur yang turun gunung tersebut.
Tapi jangan tanya soal harga daging ayam kampung ya, soalnya lebih mahal gaes dan di masa sekarang bagi saya bukan prioritas untuk dibeli (ihik.. irit pangkal survive gaes).
Nah, menutup laporan pandangan mata saya dari warung-warung sayur dan kelontong di sekitar tempat tinggal saya, dapat saya katakan bahwa harga beras masih relatif stabil.Â
Masih ada beras curah yang dijual literan seharga Rp7.000 hingga Rp14.000 per liter. Sedangkan beras yang dijual kemasan yang dijual per 5 kilogram harganya bervariasi antara Rp50.000 hingga Rp70.000, dan beras kemasan per 10 kilogram dijual dengan harga kisaran Rp100.000 hingga Rp160.000, tergantung jenis dan merk beras.
Rata-rata untuk per 2 liter minyak goreng ada di kisaran Rp26.000 ke atas dan sudah susah mencari harga promo di kisaran Rp23.000 seperti sebelumnya.
Wahai harga promo, ngumpet ke mana kamu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H