Pendukung tim nasional Inggris pastinya tidak akan melupakan kejadian saat Inggris melawan Jerman pada Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan. Inggris dipaksa mudik lebih dini dan sekali lagi mengubur mimpinya untuk berkuasa di turnamen internasional. Masalahnya, yang tersisa dari pertandingan itu adalah kontroversi saat wasit tidak mengesahkan gol Frank Lampard ke gawang Manuel Neuer.
Tendangan keras Lampard meluncur deras menerpa mistar atas gawang, memantul ke dalam melewati garis gawang, memantul lagi ke tiang atas dan baru ditangkap Neuer. Seisi stadion paham bahwa Inggris telah menyamakan kedudukan menjadi 2-2, pelatih Fabio Capello pun sudah mengekspresikan kegembiraannya di pinggir lapangan.
Namun, wasit dan asistennya berkata lain. Tidak ada gol. Wasitnya tidak melihat, asistennya juga. Mungkin mereka sedang rehat ngopi sambil ngemil rengginang. Entahlah. Frank Lampard hanya bisa shock dan memegangi kepalanya dengan kedua tangannya. Seluruh Inggris shock, seluruh penggemar Inggris di seluruh dunia juga shock. Kecuali yang memang haters Inggris, dan tentu saja pendukung Jerman, mereka juga shock tapi senang.
Senang-senang shock gitu deh.
Maka perdebatan tentang perlunya teknologi video dalam membantu kerja wasit kembali mengemuka. Mereka yang pro teknologi meyakini kasus seperti itu tidak bisa terulang lagi, sebuah tim tersingkir gara-gara wasitnya melamun.
Mundur jauh ke belakang, ada gol tangan tuhan nan legendaris yang dibuat oleh seorang Maradona di Piala Dunia Meksiko 1986. Lagi-lagi gol kontroversial yang membuat Inggris tersingkir dari Piala Dunia. Duh Inggris, nasibmu memang pilu.
Meski demikian, pemuja drama dalam sepakbola meyakini segala kejadian di atas lapangan merupakan bagian permainan, termasuk jika wasitnya tiba-tiba kelilipan peluitnya sendiri sehingga tidak sempat melihat sebuah gol dan mengesahkannya. Bagi pendapat kontra, penggunaan teknologi bisa mengancam sepakbola itu sendiri. Nggak seru katanya, nggak nyeni bilangnya.
Sampai berpuluh tahun kemudian, orang-orang akan selalu menceritakan sebuah dongeng sepakbola tentang gol tangan tuhan Maradona. Dramatis, penuh emosi. Sudah dari sononya jika manusia memang suka dongeng. Nah, inilah mengapa wacana penggunaan teknologi video dalam sepakbola ditentang oleh para penikmat dongeng dan drama.
Piala Dunia Rusia 2018, mencatat sejarah saat kali pertama diterapkannya teknologi video assistant referee (VAR) di perhelatan akbar putaran final Piala Dunia. Sebuah langkah baru yang dilakukan oleh FIFA, mengingat di level Eropa saja, UEFA belum berani menerapkan VAR di ajang prestisius seperti Liga Champios Eropa.
Memang tidak ujug-ujug FIFA menerapkan teknologi ini. Sudah beberapa turnamen level usia yang menguji coba VAR, demikian pula ajang Piala Konfederasi 2017. Hasilnya memantapkan FIFA untuk mengaplikasikan VAR di ajang paling akbar di dunia sepakbola, yakni World Cup alias Piala Dunia di Rusia.