Mohon tunggu...
Widi Kurniawan
Widi Kurniawan Mohon Tunggu... Human Resources - Pegawai

Pengguna angkutan umum yang baik dan benar | Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Angpao Lebaran, Tak Perlu Ditolak

11 Juni 2018   21:30 Diperbarui: 11 Juni 2018   21:44 1061
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Tribunnews/Herudin

Salah satu tradisi yang melekat di hari lebaran adalah memberi angpao kepada anak-anak, cucu, keponakan, anak tetangga serta kerabat.  Asal statusnya masih anak-anak, bisa juga jomblo pengangguran, rasanya pantas untuk mendapat angpao lebaran. Isinya? Tidak ada patokan, yang penting ikhlas dan lebih khusus lagi, lebih baik jika berupa lembaran uang baru yang gres dan berbau khas.

Entah sejak kapan tradisi ini berkembang. Sebagai sebuah tradisi, kadang-kadang malah bisa menjadi beban bagi calon pemberi.

"Gue nggak mudik, bayangin aja ponakan di kampung jumlahnya banyak banget, lha gue dapet THR aja cuma setengah gaji, itupun buat tiket pulang pergi udah pas-pasan banget," itulah celetukan yang pernah saya dengar di pojokan stasiun.

Dalam masyarakat kita yang terbiasa pro dan kontra, tradisi angpao lebaran juga menuai pandangan kontra dengan alasan bahwa kebiasaan ini bisa memicu sifat materialistis anak-anak dan bahkan sampai menular ke orang tuanya.

Saya bisa memahami pandangan itu. Lha wong dulu pernah saya mengamati seorang bocah yang dengan sibuknya selalu saja menghitung isi angpao yang diterimanya ketika datang ke rumah orang. Bocah ini merasa "kaya mendadak" dan merasa momen lebaran harus dimanfaatkan sebaik mungkin demi angpao sebanyak mungkin.

"Pah, habis ini ke rumah siapa lagi?" cetusnya bertanya kepada sang Papah.

Namun kalau boleh saya katakan bahwa bocah jenis itu tentunya adalah oknum, tidak semua bocah memiliki sifat yang sama dalam memandang angpao dan isinya. Sebagai sesuatu hal yang terlanjur menjadi tradisi, saya pun tidak bisa serta merta bersikap kontra dan menolak tradisi ini. Misalnya over acting menolak siapapun yang memberikan amplop ke anak saya.

"Oh, makasih, jangan-jangan, nggak usah amplop-amplopan, saya sedang mendidik anak saya untuk berani menolak amplop sejak dini," nah, kalau saya bersikap begini bisa-bisa lebaran malah jadi bibit perselisihan.

Berpikir positif saja dengan hal tersebut. Saya sendiri sebagai orang tua yang memiliki anak-anak tentu harus mempersiapkan anak-anak saya saat menerima angpao lebaran dari siapapun. Bukan, bukan mempersiapkan celana dengan kantong banyak atau sebuah dompet khusus untuk anak saya, bukan itu.

Bagaimanapun angpao dan isinya adalah hak anak-anak yang tidak pantas jika malah berpindah ke dompet orang tuanya. Makanya saya selalu menekankan kepada anak-anak bahwa hal itu adalah rejeki yang patut disyukuri dan harus digunakan untuk hal-hal baik, misalnya dikumpulkan, ditabung dan digunakan untuk membeli sesuatu yang menjadi idamannya.

Momen lebaran saat anak-anak sering menerima angpao, sebenarnya momen yang tepat untuk mengajarkan tentang nilai uang, cara-cara dan manfaat menabung. Bagaimana caranya agar saat anak memiliki banyak uang, ia tidak menggunakannya dengan boros. Bagaimana pula mengarahkan anak untuk bisa menggunakan sebagian uangnya untuk beramal. Inilah pentingnya peran orang tua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun