Pada kategori mahasiswa, film pendek berjudul “I Love Me” karya mahasiswa Intitut Kesenian Jakarta berhasil menggondol predikat terbaik disusul film animasi unik berjudul “Different” karya sineas muda Universitas Bina Nusantara sebagai juara kedua. Film pendek berjudul “Mereguk Asa di Teluk Jakarta” karya anak-anak Universitas Negeri Jakarta berhasil mendapat peringkat ketiga menyisihkan dua karya lainnya di lima besar yakni “Omah” dari Sekolah Tinggi Multimedia MMTC Yogyakarta dan “Di Ujung Jari” karya dari mahasiswa Universitas Bina Nusantara.
Kesepuluh finalis tersebut menjadi terbaik di antara karya-karya luar biasa yang berjumlah 276 yang masuk mendaftarkan diri pada FFPI 2016. Karya-karya para anak muda ini tentu menjadi pertanda positif bahwa negeri ini tidak akan kekurangan sineas-sineas handal yang memiliki kepekaan dengan permasalahan di sekitarnya.
Realita dalam humanisme, nyatanya bukan melulu tentang fakta negatif dan pesimisme. Anak-anak muda itu ternyata memiliki semangat untuk menyampaikan pesan bahwa selalu ada harapan baik di balik sebuah peristiwa.
Film “Terminal” misalnya, mengangkat cerita berlatar tempat di sebuah terminal bus Mandalika, Lombok Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Kisahnya sangat sederhana, yakni menggambarkan seorang pria calon penumpang bus yang terburu-buru hendak naik ke dalam bus tapi tidak sadar bahwa tas yang semula dibawanya tertinggal di sebuah bangku.
Dua orang anak terminal yang melihat kejadian tersebut digambarkan saling berebut tas itu. Anak pertama bermaksud mengembalikan kepada si pemilik, sedangkan anak kedua berniat sebaliknya, ia sepertinya ingin memiliki tas tersebut. Maka adegan pun menjadi seru ketika kedua anak tersebut saling berkejaran.
Kisah menjadi happy ending tatkala si anak pertama berhasil mengembalikan kepada empunya tas. Pria pemilik tas itu mengucapkan terima kasih seraya mengulurkan sebungkus roti tetapi si anak berusaha menolak meski akhirnya diterima juga. Hebatnya lagi, ia kemudian terlihat membagi dua roti itu dengan rivalnya tadi. Sebuah kisah dengan pesan yang sangat jelas, bahwa masih ada secercah kebaikan meskipun hal itu terjadi di sebuah terminal bus yang identik dengan kesan negatif.
Beberapa finalis lainnya juga cukup mengagumkan karena fasih bercerita lewat bentuk dokumenter, misalnya saja “Mereguk Asa di Teluk Jakarta”, “Mata Hati Djoyokardi” dan juga “Kihung (Jalan Menikung)”. Karya-karya tersebut secara kualitas layak sejajar dengan karya jurnalistik media televisi mainstream, dan mereka sebenarnya unggul dalam hal menjangkau tema, lokasi dan narasumber yang jarang atau malah belum pernah terpublikasikan.
Berapa banyak masyarakat Indonesia yang sadar dan tahu betul tentang fakta bahwa di Jakarta ternyata dihuni pula oleh manusia perahu? Ya, film “Mereguk Asa di Teluk Jakarta” membeberkan realita tersebut meski sebenarnya manusia perahu pada film itu yang notabene nelayan di perairan utara Jakarta tersebut bukanlah penduduk resmi Jakarta. Namun, semestinya ketika kita bicara dalam koridor humanisme atau kemanusiaan, tak harus ada sekat-sekat wilayah atau administratif sehingga mengaburkan realita bahwa mereka, termasuk manusia yang hidup di atas perahu, adalah manusia yang tak pantas bernasib timpang dibanding yang lainnya.
Bahkan seperti diungkapkan oleh Rosiana Silalahi, pemimpin redaksi Kompas TV saat membuka perhelatan final FFPI 2016, bahwa dirinya merasa “iri” dengan generasi saat ini karena di masanya dulu tidak banyak anak SMA atau mahasiswa yang punya kesempatan membuat film pendek.
Ungkapan tersebut bisa bermakna bahwa saat ini lebih banyak kesempatan dan kemudahan bagi siapapun, termasuk pelajar untuk berkarya termasuk membuat film pendek. Maka tak mengherankan jika kelak akan banyak bermunculan sineas-sineas muda yang membawa nama Indonesia di kancah internasional.