“Sekolah ini pernah dibilang sebagai sekolah kandang ayam, ya karena memang begini keadaannya, kami memang pelihara ayam di kandang, belum lagi kelasnya seadanya. Kami tidak punya gedung megah di sini, yang kami punya adalah saung-saung berdinding kayu, lalu hanya pepohonan yang bisa bikin sejuk, bukan AC. Bagaimana? Ayah dan Bunda siap menyekolahkan ananda dengan kondisi seperti ini?” tanya pria paruh baya itu, diiringi senyum ramah yang dari bibirnya.
Saya menghela nafas sejenak, lalu melirik ke arah istri saya yang memandang dengan tatapan yang seolah sudah memahami jawaban yang akan saya lontarkan.
“Siap Pak, semoga anak kami juga lebih siap. Gedung megah bukanlah faktor yang membuat kami datang mendaftar ke sekolah ini. Kami sudah lebih dulu mempelajari konsep pendidikan di sini, dan kami berharap anak kami cocok di sini,” jawab saya.
“Baiklah, tapi di sini kita berharap Ayah dan Bunda untuk aktif berperan karena pendidikan tidak bisa diserahkan begitu saja kepada sekolah lalu selesai. Beberapa kegiatan di sini kami harapkan Ayah dan Bunda juga ikut berperan, misalnya kita biasanya ada kegiatan market day, lalu memberikan tugas kepada Ayah dan Bunda untuk mendampingi ananda membuat sesuatu di rumah dari barang bekas dan proses tersebut didokumentasikan. Kemudian ada lagi kegiatan story telling, saat Ayah harus datang ke sekolah mendongeng di depan anak-anak. Di sini peran Ayah diharapkan lebih menonjol karena kami percaya Ayah adalah sosok yang sangat penting dalam pendidikan dan perkembangan seorang anak. Bagaimana Ayah dan Bunda, sanggup?”
“Insyaallah kami siap, justru hal-hal seperti itu yang anak saya suka. Dia terlihat sangat kreatif dengan barang apapun, kemudian jiwa wirausahanya sepertinya ada karena dia suka berperan jadi penjual bakso atau malah pura-pura menjual bensin ketika anak-anak lainnya sedang main sepeda-sepedaan, cocok lah kalau ada kegiatan semacam market day,” ujar saya sambil memandang ke arah anak laki-laki saya di kejauhan yang tengah berlarian dengan anak-anak sebayanya yang kelak akan menjadi teman sekolahnya.
Ah, lihatlah betapa gembiranya dia berada di tempat yang kelak akan menjadi tempat belajarnya pada jenjang Sekolah Dasar. Itu dengan catatan jika kami sebagai orang tuanya lolos dalam wawancara kali ini.
Ya memang, di sekolah ini bukan anak kami yang dites atau diwawancara, melainkan Ayah dan Bundanya. Para orang tua calon murid dijajaki kesiapannya untuk bekerja sama dengan pihak sekolah. Menyamakan pandangan yang sama tentang bagaimana menangani anak ketika di sekolah maupun di rumah.
Sangat berbeda ketika kami datang mendaftar di sekolah sebelumnya. Anak kami harus dites dan belum apa-apa anak kami sudah berontak, tidak mau dites dengan segala perangkat alat tulis menulis dan lingkungan yang terasa kaku. Dia dinyatakan gagal, dan kami sebagai orang tua disarankan oleh pihak sekolah itu untuk datang ke psikolog anak.
Sebenarnya, tanpa saran itu pun jauh hari sebelumnya anak kami sudah pernah menghadapi psikolog dan didiagnosa menyandang PDD-NOS atau Pervasive Develompmental Disorder Not Otherwise Specified. PDD-NOS sendiri adalah salah satu gangguan spektrum Autism. Sering dikatakan sebagai autis ringan karena secara umum tidak menampakkan perbedaan dibanding anak pada umumnya.
Dengan kondisi anak kami, mau tidak mau kami sebagai orang tua harus berupaya mencarikan sekolah yang pas dengan karakternya. Sekolah yang mempunyai kesamaan visi melihat kelebihan dan kekurangan seorang anak. Sekolah yang seluruh perangkatnya tidak menghakimi kondisi salah satu, dua atau beberapa siswa karena dianggap berbeda. Sekolah yang mampu mengembangkan potensi tersembunyi dari seorang anak.
Repot?