Mohon tunggu...
Widi Kurniawan
Widi Kurniawan Mohon Tunggu... Human Resources - Pegawai

Pengguna angkutan umum yang baik dan benar | Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Hobiku: "Mencakar"

5 Agustus 2011   14:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:04 539
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_127194" align="aligncenter" width="680" caption="Kerumunan"][/caption]

Sekilas tak ada yang istimewa dari kerumunan orang di pinggir jalan Lawata, Kendari itu. Tiap sore, kawasan itu memang menjadi tempat menggelar dagangan berupa pakaian bekas impor. Namun, saya baru ngeh sebulan belakangan ini bahwa di tempat itulah sebuah hobi unik muncul. “Mencakar” adalah istilah yang belum lama saya kenal. Berasal dari istilah “Cakar” atau “Cap Karung”, merujuk pada pakaian bekas impor yang dikemas dengan karung besar. Istilah “Cakar” kini sama populer dan sama maknanya dengan istilah “RB” (rombengan), yang oleh warga Kendari dan sekitarnya dipahami sebagai kode untuk menyebut barang bekas impor, dari mulai kaos, celana, sepatu, aksesoris hingga kasur spring bed. Konon barang “RB” atau “Cakar” yang masuk di Kendari adalah dari Singapura. Namun, soal legal atau tidaknya, kalangan “pencakar” tidak ambil pusing. Toh, kita membelinya di tempat umum yang tentunya tidak ada larangan dari pihak berwajib. Berburu barang “Cakar” atau “RB” di Lawata ternyata bisa menjadi hobi yang menyenangkan, apalagi jika kita datang pada saat “buka baru”. Istilah “buka baru” dipakai pada saat si penjual mengeluarkan satu bal karung besar yang masih terbungkus rapat, kemudian dibuka di depan para “pencakar” yang sejurus kemudian akan saling berebut pakaian yang sekiranya masih bagus dan bermerk. “Saya suka suasana saat buka baru, saling berebutan baju impor, itulah asyiknya walau terkadang harga baju yang kita dapat sama atau lebih mahal dibanding baju baru di toko, yang penting ada nilai kepuasan saat mendapatkan baju yang bagus,” tutur Banawula, seorang pengunjung setia gelaran “RB” di Lawata. Banawula telah menganggap perburuannya ini sebagai hobi dan ia telah melakukannya selama bertahun-tahun. Sebagian besar pakaian yang ia miliki merupakan barang “Cakar”. “Saya biasa mencucinya dua kali sebelum baju Cakar ini saya pakai,” ujarnya. Soal gaya, nyatanya Banawula sering dipuji oleh teman-teman sekantornya sebagai sosok yang fashionable. Kebanyakan baju yang dikenakannya tergolong unik dan jarang ditemui di toko-toko dalam negeri. Padahal kenyataannya baju-baju itu adalah bekas pakai. Timbul Keakraban Saat “buka baru” berarti saat berebutan. Namun, selama ini tak pernah terjadi perselisihan saat aksi “pencakaran” terjadi. Ketika tangan saya lebih cepat satu detik memegang sebuah baju, maka orang lain yang terlambat satu detik itu akan merelakan untuk melepasnya kepada saya. Toh, belum tentu saya akan membelinya juga. Masih ada proses tawar-menawar dengan penjualnya. Saya sempat kaget saat ada orang yang sepertinya belum saya kenal menyapa dengan ramah. “Kemarin kaos Diadora kena berapa?” tanyanya. “Emmm… eh, dua puluh ribu…” kata saya sambil berpikir heran, kok orang itu tahu barang apa yang saya beli kemarin. “Bagus itu barang, asli, ini saya dapat celana juga murah, cuma tiga pulu lima ribu,” katanya menunjuk celana jeans pendek yang dipakainya. Rupanya sering datang ke tempat itu maka kita akan mengenal wajah-wajah yang sama, yang tiap sore datang menunggu saat “buka baru”. Sesama “pencakar” menjadi akrab satu sama lain tanpa pernah berkenalan dan tahu nama. “Mas, ini cocok buat kamu,” kata seorang “pencakar” yang wajahnya mulai familiar. Hmm, mana ada ketika di mal kita akan menemukan orang tak dikenal yang tiba-tiba mengulurkan baju yang sekiranya cocok untuk kita pakai? Bagi kalangan “pencakar”, meski datang hampir tiap sore, tetapi mereka tidak harus membeli baju atau celana, karena suasana “cakar-mencakar” itulah yang mengasyikkan. Seperti saya yang seringkali telah memegang beberapa lembar kaos, akhirnya saya tidak jadi membelinya karena tidak cocok dengan harga yang ditawarkan penjual. “Itung-itung olahraga Mas,” ucap seorang kawan “pencakar”. Ya, mengais tumpukan baju dan celana memang butuh energi yang lumayan juga. Keringat tak terasa menetes saat kita asyik memilih baju. Namun, tak jarang tawa juga akan lepas di tengah kerumunan aksi “pencakaran”. “Aduh ini celana dalam kok masuk sini? Gede lagi…” dan celetukan itu akan disambut tawa oleh sesama “pencakar”. [caption id="attachment_123510" align="aligncenter" width="640" caption="Saat "][/caption] [caption id="attachment_123511" align="aligncenter" width="640" caption="Serunya "][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun