[caption id="attachment_361645" align="aligncenter" width="640" caption="Toilet umum tarifnya menggelitik (foto by widikurniawan)"][/caption]
Desa itu sebenarnya tak begitu jauh dari kota besar. Hanya butuh sekitar 1,5 jam perjalanan naik kendaraan bermotor. Saat itu saya sedang berada di rumah Sekretaris Desa untuk suatu keperluan.
“Emm, Pak boleh saya numpang ke belakang sebentar, saya mau buang air kecil,” pinta saya kepada Pak Sekdes.
Dia kemudian mempersilakan saya dan menunjukkan arah ke bagian belakang rumahnya. Sesampainya di dapur, saya celingak-celinguk mencari ruangan yang difungsikan sebagai kamar mandi atau kamar kecil di rumah itu.
“Di sebelah mana Pak?” tanya saya.
“Maaf Pak, di situ saja, nanti ambil airnya pakai gayung ini,” jawab Pak Sekdes sambil senyum dan menunjuk ke pojokan dapur yang penuh dengan ember, cucian baju dan tumpukan piring kotor.
Ha? Jujur saya agak terkejut dan bingung. Masa saya harus buang air kecil di pojokan dapur dan tanpa sekat apapun? Namun karena kebelet dan takut menyinggung tuan rumah jika saya batal buang air kecil, maka saya pun mengumpulkan segala kepercayaan diri saya untuk menuntaskan hajat saya di situ.
Dalam benak saya, banyak timbul pertanyaan yang mengusik. Rumah itu cukup besar, sebagian dindingnya sudah permanen, lalu kenapa tidak ada kamar mandinya? Selama ini ke mana mereka harus menuntaskan hajat yang menjadi kebutuhan manusia?
“Sudah Pak? Maklum di kampung tidak ada kamar kecil Pak, kalau mau buang air besar di belakang rumah sana, dekat pohon jambu ada parit kecil,” kata Pak Sekdes, membuat saya agak kikuk.
Eh, dua minggu berikutnya ketika saya datang kembali, ternyata Pak Sekdes sedang sibuk mengebor halaman belakangnya.
“Bikin kamar mandi Pak, supaya Bapak kalau ke sini bisa enak,” katanya sambil tersenyum.