Mohon tunggu...
Widi
Widi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

just an ordinary girl

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Menikmati Dinginnya Malam di Puncak Pass, Bogor

28 November 2011   08:33 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:06 11181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Malam minggu bagi banyak kalangan merupakan saat yang pas untuk menghilangkan penat dengan pergi ke daerah Puncak, Bogor, Jawa Barat. Udara yang dingin serta banyaknya kebun teh yang memberikan kesegaran udara, membuat banyak orang sangat tertarik untuk menghabiskan malam di wilayah Puncak ini. Bagi saya sendiri ini merupaka pengalaman pertama, walaupun saya tinggal di Jakarta namun belum pernah benar-benar menikmati malam di Puncak Pass, paling hanya sekedar lewat untuk ke kota tujuan lainnya. [caption id="attachment_146228" align="alignright" width="300" caption="Puncak Pass, Bogor (foto: Google)"][/caption] Bersama empat orang rekan, kami berniat menikmati malam minggu di Puncak. Dengan titik awal di Cimanggis, Depok, kami berlima berangkat dengan mengendarai tiga buah motor pada jam 10.30 malam. Lewat Jalan Raya Bogor kami melakukan konvoi motor yang semuanya matic, sempat bertemu dengan rombongan motor besar yang sepertinya mempunyai tujuan yang sama dengan kami yaitu ke arah Puncak. Selepas Cibinong arah Bogor, hujan rintik-rintik membuat kami agak khawatir apakah dapat melanjutkan perjalanan, rupanya nasib baik masih berpihak dan begitu memasuki kota Bogor, hujanpun menghilang. Di Bogor, kami istirahat sebentar untuk meluruskan kaki yang mulai terasa pegal sekaligus mengisi kerongkongan yang mulai kering dengan air. Melanjutkan perjalanan, selepas Ciawi mengarah ke Puncak mulai terasa angin yang sangat dingin menusuk kulit padahal saya mengenakan jaket. Jalanan terlihat mulai padat, namun karena kami menggunakan motor dapat melewati sisi kanan atau kiri dari mobil yang terjebak kemacetan. Motor yang saya tumpangi berada di urutan kedua dari rekan yang lain, motor rekan yang ada di depan dipacu dengan kecepatan yang cukup tinggi sehingga kami yang berada di belakang harus mengikuti agar tidak tertinggal jauh. Makin mengarah atas menuju Puncak, udara dingin terasa menusuk, salahnya saya menggunakan jaket yang kurang tebal jadi kadang merasa menggigil. Rekan saya yang mengendarai motorpun merasakan dingin yang sama, sehingga beberapa kali ia harus merilekskan tangannya dengan dikepal-kepalkan. Saat melewati depan Masjid At Ta'awun, terlihat banyak sekali mobil yang parkir di pinggir jalan sehingga menambah kemacetan. Rupanya sedang ada ceramah dari seorang ustad yang dari suaranya saya kenali, rekan saya mengatakan yang ceramah adalah Ustad Ahmad Al Habsyi, pantas saja sepertinya familiar sekali suara beliau. Saya sempat mendengar ceramah Ustad Al Habsyi saat itu, yang sempat membuat saya terkikik di atas jok motor. Beliau mengatakan " setahu saya tidak ada anak ayam yang berkeliaran di malam hari, terus anak siapakah itu?? helooo.." hehehe... ada yang merasa tersindirkah pada malam itu di kawasan Puncak? Di sisi kiri dan kanan jalanan menuju kawasan Puncak ini, banyak sekali terlihat orang yang membawa papan berukuran kecil serta senter, tulisan di papan itu adalah 'Villa/kamar disewakan' dan mereka adalah semacam calo yang menawarkan jasa. Memang sudah tidak asing lagi kalau di kawasan ini begitu banyak villa, resort, hotel, wisma, ataupun penginapan. Jam 00.30 kami tiba di kawan Puncak Pass, tepatnya di dekat restoran Rindu alam 1, terlihat banyak sekali kendaraan baik mobil maupun motor yang diparkir di tempat ini. Kamipun segera mencari tempat untuk memarkir motor, banyak sekali rombongan anak-anak muda yang sedang menikmati dinginnya suasana malam di tempat ini, yang banyak terlihat juga tentu saja pasangan muda-mudi yang terlihat saling berpelukan, atau mungkin lebih, saya tidak berniat melihat lebih jauh hehehe.. [caption id="attachment_146235" align="alignleft" width="300" caption="menikmati sekoteng di udara yang dingin"][/caption] Karena udara begitu dingin, kami memesan sekoteng atau wedang jahe untuk menghangatkan tubuh yang terasa mulai mengigil. Rekan saya berkomentar, "jahenya nggak berasa, cuma aromanya aja" saya tidak ikut memesan jadi tidak tahu rasanya. Menyeruput wedang jahe sambil menikmati pemandangan alam dan dinginnya Puncak, mungkin ini yang dicari oleh orang-orang yang sering datang ke sini. Karena cuaca kurang mendukung, disertai kabut yang turun, sulit untuk melihat pemandangan lampu-lampu rumah penduduk yang terlihat sangat indah pada malam hari dari tempat ini. Usai menghabiskan sekoteng, kami mencari warung untuk duduk-duduk sekaligus mengurangi rasa dingin yang semakin terasa. Sambil berjalan ke arah warung-warung yang banyak di pinggir jalan, saya melihat beberapa pasangan sedang asik berpelukan padahal ramai sekali orang di sekitar mereka. Mungkin sudah tidak asing lagi pemandangan seperti ini di Puncak? Kami masuk ke sebuah warung, dari penampilan sangatlah biasa dan makanan yang disajikanpun sangat umum, mie rebus/goreng, nasi goreng, roti bakar, jagung makar, ubi bakar, dan yang sedikit mengibur adanya sebuah TV, jadi kami bisa sejenak menghangatkan diri sambil menonton TV. Dua orang rekan terlihat lelah dan segera mengambil posisi untuk tidur sejenak sebelum kami pulang. Kami memesan tiga mangkuk mie rebus, dua porsi roti bakar, dan lima gelas teh tawar panas. Tak lama, datang tiga pasang muda-mudi masuk ke dalam warung terlihat mesra saling bergandengan tangan dan mereka mengambil posisi untuk duduk berduaan dengan masing-masing pasangan. Setelah pesan makanan, terlihat yang wanita mengantuk atau pura- pura mengantuk ya..hehe.. dan terlihat sudah dalam posisi tiduran dan kepala di pangkuan sang lelaki. Kami yang melihat bisik-bisik, karena terlihat mereka agak malu untuk melakukan aksi lanjutan di depan kami, hihihi.. Setelah cukup menghangatkan diri, jam 03.30 kami memutuskan untuk pulang. Keluar dari pintu warung, brrrrr angin dingin langsung saja menyerbu membuat kami menggigil namun tetap harus melanjutkan perjalanan karena seorang rekan harus masuk kerja pagi harinya. Dengan kecepatan minimum, kami konvoi kembali turun dari Puncak, suasana sudah  sepi pada jam seperti ini sehingga tidak terlihat kemacetan. Kami sempat berhenti sejenak karena satu motor rekan tidak terihat di belakang, rupanya mereka kedinginan sehingga hanya memacu motornya dengan kecepatan tidak kurang dari 20 km/jam. Tiba di Cibinong jam 04.00 tepat saat azdan subuh berkumandang, kami istirahat untuk meluruskan kaki serta pinggang yang terasa mulai kram sepanjang perjalanan pulang. Mampir di sebuah warung untuk memesan kopi karena terlihat wajah-wajah yang mulai mengantuk. Usai menghabiskan kopi, kami lanjut untuk pulang, perjalanan yang cukup melelahkan namun pengalaman yang cukup menarik. [caption id="attachment_146243" align="aligncenter" width="300" caption="dinginnya malam di Puncak Pass"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun