Mohon tunggu...
Widianurf
Widianurf Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penikmat angin

Majulah tanpa menyingkirkan orang lain. Naiklah tanpa menjatuhkan orang lain. Bahagialah tanpa menyakiti orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kesatria Bulan Purnama

22 Maret 2022   20:00 Diperbarui: 22 Maret 2022   20:02 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

KESATRIA BULAN PURNAMA

Angin bergemuruh di kala ayunan pedang siap menghempaskan musuh. Suara gesekan pedang seakan lebih nyaring daripada Guntur. Kabut pun jadi saksi dari sengitnya pertarungan dua pendekar ini.  

Mata mereka saling bertemu di atas pedang mereka yang saling bersentuhan. "Jangan harap kau bisa lari dariku Raka." Sraak! Dorongan pedang membuat mereka saling berjauhan. Langkah kaki terus berpacu dan kian mendekat. Sring! Mereka bertahan sekuat tenaga.

"Bagaimanapun juga aku akan menghentikanmu!" Bhuaakk! "Okhok okhok." Seseorang terjatuh saat pukulan menghantam dadanya. "Ha ha ha! Lihatlah pria malang ini. Menghentikanku katamu?" Senyum getir terbentuk di wajah sangar itu, "bagaimana jika aku menghabisimu lebih dulu. Apa kau masih bisa menghentikanku hem?" Pria malang ini melihat sekeliling. Kabut semakin tebal sampai memenuhi penglihatannya. Dia kemudian berdiri namun sedikit membungkuk. "Dimana kau? Keluarlah!" 

Dengan sikap waspada, dia siap siaga sambil memegang pedang dengan kedua tangannya. "Apa kau pernah dengar? Di gunung ini tinggal seekor siluman kumbang. Dia muncul tepat saat bulan purnama. Dan kau tau? Sekarang adalah malam bulan purnama. Bukankah ini sangat menarik?" "Apa maksudmu?" ucapnya sedikit bingung. 

Swuuush! Suara angin dari sebelah kanan membuatnya spontan menengok. Dan tiba-tiba, pedang datang kearahnya. Beruntung dia sempat menghindar. Namun, bahu kanannya terluka. "Ukh..." rintih pria itu. Dia terkejut karena musuh terus mendesak pria itu, membawanya ke sisi jurang. Musuh yang lebih besar dari badan pria itu terus menyerangnya tanpa henti. Pedang ia ayunkan dengan kuat, membuat lawan yang terluka itu kewalahan hingga pedangnya terlempar. 

"Maaf saja, sepertinya keinginanmu tidak akan terwujud." Pria besar itu spontan menusuk lawannya yang sedang lengah. "Aaakh!" Terjatuhlah dia kala pinggangnya banyak mengeluarkan darah. "Karena kau akan mati di sini." Buaakh! Whussh! Dengan wajah kaget, pria itu terhempas ke udara. Tendangan kuat itu bahkan masih terasa sakit, dan itu membuat raganya jatuh ke dalam jurang. Apa ini akhir hidupku? Padahal aku belum sempat mengungkap rahasia itu. Maafkan aku... pangeran.

Bersambung...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun