Mohon tunggu...
Fajar Widiantoro
Fajar Widiantoro Mohon Tunggu... -

membuka cakrawala pandang lewat dunia maya

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Jurnalis dan Tukang Becak itu Sama, jika...

12 Mei 2013   20:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:41 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Jika ditanya apakah wartawan adalah pekerjaan profesional? Untuk menjawab pertanyaan tersebut mungkin hanya bisa di ilustrasikan atau menggunakan silogisme-silogisme di kehidupan nyata. Jawabanya tentatif, wartawan bisa di katakan profesional juga bisa dikatakan sebagai tukang pencari berita saja. Mengapa demikian? Banyak perdebatan mengenai wacana ini. Tapi saya memiliki pandangan yang berbeda. Mungkin terlalu dini untuk mengatakan bahwa seorang jurnalis adalah profesional. Mungkin saya belum memiliki pengetahuan yang luas mengenai hal ini. Sementara, ini pemikiran yang saya miliki, terlepas dari benar atau salah.

Pekerjaan jurnalis ini banyak yang mengatakan suatu pekerjaan yang membutuhkan ketrampilan bagaimana mencari, mengobservasi, bertanya, menulis, mengolah hingga menjadi berita. Jelas bahwa itu tugas utamanya. Di Indonesia sendiri memiliki media yang jumlahnya tidak sedikit. Setiap media memiliki jurnalis. Jika di hitung-hitung, jumlah jurnalis di indonesia sangatlah banyak. Namun belum tentu setiap jurnalis atau wartawan di indonesia ini di anggap sebagai profesional. Walaupun kenyataanya mereka sudah di bekali ketrampilan khusus dalam peliputanya di lapangan. Dengan perekrutan yang ketat dan juga dengan latar belakang sarjana, jurnalis tetap belum bisa di katakan sebagai profeisonal.

Pekerjaan Profesional merupakan suatu bidang pekerjaan dengan kepandaian khusus, dalam hal ini adalah ketrampilan yang tidak umum, yang tidak bisa dilakukan orang biasa. Disebut profesional karena kemampuan seorang profesional di tempuh atau diperolehnya dengan jerih payah yang luar biasa. Meraih predikat Profesional tersebut harus memilliki jenjang tingkatan pendidikan yang tinggi. Bahkan lebih dari itu. Ukuran profesional memang sangat berat dan luas untuk dijabarkan, dan tidak ada habisnya untuk diperdebatkan. Pekerjaan tersebut ibarat pasukan khusus yang terlatih dan siap mati menghadapi musuh yang mengancam bangsa dan negara...hehe lebay. Tapi menurut saya memang begitu, pekerjaannya ibarat tentara yang menembak mati para preman di penjara cebongan. Seperti permainan Utut Ardianto dengan permainan caturnya, seperti densus 88 memburu dan mengungkap jaringan teroris di bandung baru-baru ini, dll. Begitulah pandangan saya tentang profesional.

Jurnalis juga bisa di samakan dengan pekerjaan lainya seperti tukang becak, tukang tambal ban, dan pekerjaan lain saja. Karena sifatnya hanya pekerjaan yang di lakukan sehari-hari untuk mencari uang. Yang membedakan jurnalis dengan pekerjaan-pekerjaan lainnya adalah hanya dari segi tipe atau model pekerjaannya saja. Pekerjaan jurnalis dalam kesehariaanya seperti itu-itu saja, mencari berita dengan kemampuan yang telah mereka miliki. Sama halnya dengan tukang becak dan tukang tambal ban. Mereka semua mencari nafkah dengan melakukan rutinitas melayani seseorang yang ingin menggunakan jasanya. Walaupun jenjang pendidikan lebih tinggi jurnalis daripada tukang-tukang lainnya, namun secara garis besarnya sama. Antara jurnalis dan tukang lainnya semata-mata untuk memenuhi kebutuhan dan bertahan hidup.Jika tidak ada media, apakah jurnalis akan tetapa mencari berita?. Jika tidak ada yang menambalkan ban motor di jalan, apakah masih ada tukang tambal ban di pinggir-pinggir jalan. Saya rasa tidak ada. Semua pekerjaan hanya ada sesuai dengan tuntutan pasar saja. Bekerja dengan motivasi mencari uang saja. Tidak lebih dari itu. Bukan berarti merendahkan pekerjaan seorang jurnalis, tetapi memang demikian kenyataannya.

Dari deskripsi singkat diatas, saya menilai bahwa jurnalis yang demikian masih banyak di negeri ini, bekerja hanya untuk uang dan Berlindung payung media. Mereka bekerja atas dasar berapa gaji yang mereka terima setiap bulannya. Sungguh sangat disayangkan. Apakah salah bila saya membandingkan dengan tukang becak dan tukang tambal ban? Bahkan dengan tukang-tukang lainnya. Jika jurnalis memiliki mottivasi demikian maka saya benar, jurnalis adalah tukang saja. Tukang tambal ban tidak makan bila di jalan tidak ada yang menambalkan ban. Untuk itu, tukang tambal ban berpikir dan betindak di luar aturan bagaimana caranya agar ada orang yang menambalkan ban motornya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa akhirnya ada tukang tambal ban yang menebar paku di jalanan dengan sengaja. Dengan begitu ada ban yang bocor dan kemudian menambalnya. Akhirnya tukang tambal ban bisa dapat uang. Sama halnya dengan tukang becak. Jika tidak ada penumpang, tukang becak akan berpikir bagaimana caranya untuk mendapatkan uang supaya dapat penumpang dengan cara yang merugikan orang lain. Sungguh sangat di sayangkan. Namun kenyataannya masiih banyak yang melakukan pekerjaan-pekerjaan di luar aturan dan melanggar norma yang berlaku.

Sama halnya dengan jurnalis, seorang jurnalis juga masih banyak yang melakukan tindakan di luar aturan dan pedoman jurnalisme. Ilustrasinya adalah wartawan amplop, atau mungkin ada istilah lain. Yang jelas bahwa sekarang ini masih banyak praktik demikian. Menerima imbalan sejumlah uang untuk menyogok jurnalis. Dengan alasan apapun, jika jurnalis menikmati imbalan uang tersebut maka sama halnya jurnalis hanya sebagai tukang saja, di bayar untuk menerbitkan berita pesanan. Entah di sadari atau tidak bahwa apa yang di lakukan jurnalis tersebut melanggar etika, merendahkan martabat dirinya sendiri sebagai wartawan. dengan demikian, merebaknya asumsi bahwa wartawan bisa di sogok dengan uang. Sangat disayangkan sekali, jurnalis ternodai. Media sebagai induknya ikut terseret dan tercemar, dan wartawan yang lain ikut pula terkena dampaknya bahwa wartawan media “A” bisa di sogok. Padahal tidak demikian. Belum tentu jurnalis lainya di media A tersebut melakukan praktik tersebut. Ini tidak adil. Gara-gara ulah satu dua orang jurnalis, semua jurnalis beserta payungnya ternodai. Ini menjadi bencana besar. Tapi entah mengapa praktik ini masih banyak terjadi.

Kembali ke wacana profesional. Di awal, saya menyinggung Densus 88 dan Utut Ardianto. Kemampuan yang mereka miliki di atas rata-rata. Mereka semua terlatih. Densus 88 memiliki ketrampilan dalam memburu teroris, mereka memiliki intelegensi tinggi, mampu menjinakkan bom, menggunakan senjata, dll. Utut ardianto pernah menjadi juara catur tingkat dunia mengalahkan pecatur hebat dari negara lain, menilik bahwa permainan catur juga bisa di pelajari oleh anak-anak. Mereka semua berusaha keras berlatih dengan tekun, memeras tenaga dan pikiran, dan bahkan rela mengorbanan apa yang mereka miliki demi mendapatkan apa yang diinginkan. Bahkan rela mengorbankan nyawanya.

Bisa di tarik kesimpulan bahwa semua pekerjaan yang dilakukan dengan menggunakan ketrampilan dan pekerjaan tersebut dijadikan aktivitas dalam kesehariaannya dengan alasan apapun bisa di sebut sebagai profesi. Jurnalis adalah profesi. Tukang becak adalah profesi. Tukang tambal ban di pinggir jalan adalah profesi. Densus 88 adalah salah satu profesi prajurit. Pecatur adalah profesi. yang membedakannya adalah tingkatan derajat, martabat, dan kehormatan saja. Profesi satu dengan yang lain memiliki tingkat kehormatan yang berbeda. Profes Jurnalis di anggap lebih tinggi derajatnya daripada tukang becak dan tukang tambal ban. Hanya itu saja yang membedakanya.

Sedangkan profesional adalah berbicara mengenai sifat atau sikap. Semua profesi belum tentu bersifat profesional. Semua orang bisa bermain catur. tapi tidak semua pecatur adalah profesional. Utut ardianto adalah pecatur profesional. Dalam memenangkan berbagai turnamen tingkat dunia, dia tentu sudah mempersiapkan segala sesuatunya dengan matang, dengan pengorbanan yang tidak terukur. Begitu juga dengan anggota densus 88, mereka mungkin siap mati untuk berperang dengan teroris, sadar dengan resiko yang di ambilnya. Tidak cukup itu saja. Anggota Densus menjadi tidak profesional jika melanggar aturan, janji atau sumpah yang di ucapkannya. Mungkin dengan menjadi justru menjadi mata-mata teroris dengan alasan apapun, atau mundur dari tugas dan tanggung jawabnya. Jika demikian profesionalisme prajurit densus telah luntur.

Dalam bekerja, seorang jurnalis sudah di bekali kemampuan dan ketrampilan khusus, mengetahui aturan dan norma yang belaku. Profesional bisa melekat pada jurnalis jika seorang jurnalis tersebut tidak melanggar norma dan aturan baku seperti Kode Etik Jurnalistik, Sembilan elemen jurnalisme, dll. Jurnalis dianggap menjadi profesional menyadari tugas dan tanggung jawab dari profesinya, rela berkorban demi profesi tersebut, memegang teguh prinsip-prinsip tanpa alasan apapun. Tapi jurnalis bodrek atau amplop sudah melanggar etika jurnalisme, maka yang demikian dianggap sebagai salah satu ciri jurnalis yang tidak profesional.

Profesi Tukang becak juga bisa berprofesi menjadi jurnalis, karena tukang becak juga bisa bertanya, menganalisa dan menulis. Begitu pula dengan tukang tambal ban. Sekarang tumbuh jurnalis muda di sekolah-sekolah, di kampus yang sudah bisa menghasilkan produk jurnalistik. Padahal mereka masi sekolah atau belum lulus kulilah. Semua bisa menjadi jurnlais.

Tukang becak pun bisa menjadi profesional. hal demikian menjadi mungkin bila tukang becak tersebut loyal dengan pekerjaannya, melayani dengan baik setiap orang yang menambal ban, memberikan hasil yang terbaik untuk ban yang di tambalnya, dll.

Standar kopentesi, Inilah yang membedakan antara jurnalis dengan latar belakang yang berbeda-beda tersebut. Setiap orang bisa mencari dan mendapatkan Informasi. Namun dengan standar kopetensi yang baik seorang jurnalis tentu informasi yang di dapatkannya lebih memiliki nilai dan kelayakan untuk bisa di terbitkan. Dan standar kopetensi dijurnalisi di setiap media tentu berbeda-beda. Informasi sendiri terbagi terbagi menjadi 2, informasi dari hasil peliputan jurnalis di lapangan dan informasi yang sudah diberitakan malalui media. Dalam hal ini intinya bahwa setiap jurnalis dengan standar kopetensi yang dimiliki mampu menghasilkan berita yang memenuhi standar yang diinginkan perusahaan media dan dianggap layak untuk di terbitkan.

Kesimpulannya, profesional bisa melekat pada seseorang dengan pekerjaan atau profesi apapun apabila mampu mencapai standar kompetesi diatas rata-rata di setiap jenis profesinya. Seorang jurnalis menjadi profesional jika mentaati aturan yang belaku dan menikmati profesinya dengan sepenuh hati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun