Rumah kami adalah rumah terindah. Tentu saja. Rumah hasil jerih payah dari kami menabung selama lebih 30 tahun. Diujung selatan Jakarta, berdesakan dengan rumah lain yang berdempet sengap. Kami cukup bahagia. Satu set sofa lusuh berlubang pemberian seorang teman dan sebuah ranjang tua satu-satunya warisan dari ibuku membuat rumah kecil kami sudah layak disebut rumah.Kami selalu menunggu kedatangan musim hujan. Dimusim itulah kebersamaan dan kasih sayang kami tercurahkan. Kami harus siap sedia sepanjang malam menunggu hujan reda dengan beberapa ember berjajar. Atau terkadang kami harus berpeluh berlarian menahan banjir datang dari luar dengan kain yang tersisa. Disaat itulah aku, istriku dan anak kami satu-satunya Hasan, masih menyempatkan diri bercanda dan tertawa.
Tetapi seminggu ini istriku jatuh sakit bertepatan dengan bulan yang begitu mulia, bulan Ramadhan. Yang bahkan tak pernah terbayangkan penyakit yang harus menimpanya. Kanker otak. Aku selalu berpikir, entah mengapa Allah begitu sadisnya memberikan ujian yang nyatanya tidak mungkin aku menerimanya.
Di kamar berukuran 2 x 3 dengan ranjang tua, istriku Rengganis terbaring. Wajahnya terlihat sayu dan lemah. Tetapi sorot matanya masih saja tajam seakan menantang sakit yang dideritanya. Dini hari tadi kami masih sahur bersama. Dengan nasi yang aku beli dari warung sebelah. Dengan lauk sepotong tempe yang kupotong untuk berdua. Kami begitu menikmatinya. Hingga siang ini aku tak kuasa melihat penderitaan Rengganis istriku. Kubuatkan segelas teh tanpa air panas.
"Hentikan puasamu Rengganis. Minumlah teh yang kurang pantas kusuguhkan-dingin. 3 kg membuatku gemetaran hingga jariku membeku tak berani menyalakannya."
Rengganis menarik pelan bibirnya yang memucat yang sedari subuh mencekatku. Ia tersenyum dan mengelus pelan wajahku. Kugenggam jemarinya dan kucium keningnya.
"Akan kuminum bersama syukurmu nanti kang. Kita sama-sama berbuka saat adzan Maghrib berkumandang." Rengganis kembali tersenyum. Senyum yang mendamaikan siapa saja yang menatapnya.
"Kau kembali melemah Rengganis." Dan kubiarkan mataku merelakan butirannya merayap menggenangi sprei kelam yang belum kuganti saat Rengganis seminggu menenggelamkan kesadarannya.
"Mungkinkah kulepaskan satu hari yang belum tentu tahun depan kudipertemukan selayaknya hari ini atas ijinNya?" Kini genggaman jemari yang mulai mendingin mencengkeramku erat. Dia kembali tersenyum.
"Aku tak pa-apa mas. Jangan biarkan airmatamu tersia-sia dibulan yang diselimuti keberkahan ini. Bukankah sakit adalah kenikmatan tiada tara hingga butiran-butiran dosa kita terlebur jika kita mampu pasrah akan ujian dariNya?"
"Rengga..." Telunjuknya yang mendingin menggetarkan bibirku dan mencegat ucapanku berlanjut.
Rengganis menggerakkan kelopaknya dan memiringkan wajahnya pelan yang menandakan ia meminta agar bantal penyangga wajah cantiknya dibenarkan. Sesaat iapun tertidur dalam kedamaian. Kelopak yang kini menutup, bibir yang terukir dengan senyuman menggambarkan sakit menjadi keindahan yang Allah berikan.