Mohon tunggu...
KURNIAWAN WIDIAJI
KURNIAWAN WIDIAJI Mohon Tunggu... Guru - Guru

Le coeur a ses raisons que la raison ne connait point

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hiperrealitas Media Sosial: Ketika Kepalsuan Melebur dengan Kebenaran

20 Desember 2023   11:17 Diperbarui: 20 Desember 2023   11:17 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hiperrealitas Media Sosial:

Ketika kepalsuan Melebur  dengan Kebenaran


Kurniawan Widiaji

kurniawan.widiaji@mhs.unsoed.ac.id

Univeritas Jendral Soedirman

             

Pendahuluan 

Berkembang pesatnya teknologi komunikasi dan informasi saat ini, telah mengubah perilaku budaya manusia modern di abad 21 ini. Hadirnya internet sebagai media baru masyarakat milenium seakan membawa kita jauh meninggalkan dunia nyata dan masuk lebih dalam ke dunia maya. Media sosial yang merupakan anak kandung teknologi komunikasi internet kini menjadi sarana utama untuk berbagi informasi bagi masyarakat modern. Ironisnya, kecanduan masyarakat modern pada medsos di dunia maya justru kian menjauhkan kita dari relasi sosial di dunia nyata. Tanpa disadari , internet kini justru yang mengontrol kehidupan kita dan bukan sebaliknya. Media sosial ini memang seperti pisau bermata dua. Apalagi jika dikaitkan dalam dunia politik. Di satu sisi penggunaan media sosial , merupakan wujud kebebasan berekspresi dan menyuarakan pendapat. Disisi lain ia rentan ditunggangi para kelompok kepentingan untuk melakukan penghasutan, penyebaran kebencian (hatred) pembunuhan karakter (character assasination) dan berita yang mengadu domba. Pemberitaan palsu( hoax) melalui medsos ini biasanya dijadikan senjata ampuh oleh para kelompok kepentingan untuk membangun kesadaran palsu pula di masyarakat. Kondisi seperti diatas menurut sosiolog Prancis, Jean Baudrillard, disebut sebagai fenomena hiperealitas. Jean Baudrillard menyebutnya dengan simulakra yang berarti duplikat dari sesuatu yang sebenarnya tidak pernah ada, hal ini menyebabkan perbedaan antara duplikat dan fakta yang menjadi buram, entitas yang telah hilang atau bisa juga dibilang tidak memiliki dasar realitas sama sekali.

Media sosial merupakan salah satu ruang virtual yang mampu menciptakan hiperealitas yaitu suatu keadaan yang tidak mampu membedakan mana yang realitas nyata dan mana yang merupakan fantasi. Dalam praktik hiperealitas orang tidak lagi sadar bahwa apa yang dilihat sebagai kenyataan sebenarnya merupakan rekayasa yang dikemas lewat teknologi. Karena telah terjadi pengambil-alihan realitas dan tatanan sosial budaya yang alamiah oleh simulasi artifisial teknologi. Hiperrealitas adalah keadaan di mana sebuah representasi dipandang lebih nyata dari objek yang direpresentasikan Jika dihubungkan dengan kemajuan teknologi, dengan adanya internet, teknologi digital dan layar sebuah perangkat elektronik, maka hiperrealitas adalah sebuah gagasan di mana apa yang ditampilkan di media perangkat elektronik terasa lebih nyata daripada realitas fisiknya. Sedangkan strategi simulakra (simulasi realitas) memungkinkan realitas aktual untuk digeser, dan digantikan oleh realitas semu yang muncul akibat dari sifat hiperrealitas sebuah simulakra tersebut. (Baudrillard, 1994).

Lebih lanjut dijelaskan  bahwa Hiperrealitas adalah suatu keadaan di mana kepalsuan bersatu dengan keaslian, tercampur-baur, fakta bersimpang siur dengan rekayasa, tanda melebur dengan realitas, dusta bersenyawa dengan kebenaran. Media sosial seringkali dijadikan ajang merekayasa realitas, yaitu satu realitas yang tampak nyata padahal semuanya hanya sebuah halusinasi image yang tercipta lewat teknologi elektronik.Singkatnya, hiperealitas media saat ini menyajikan suatu kondisi yang di dalamnya kesemuan dianggap lebih nyata daripada kenyataan; kepalsuan dianggap lebih benar dari kebenaran; isu lebih dipercaya ketimbang informasi; dan rumor dianggap lebih benar ketimbang kebenaran.

Pembahasan

Teori Simulacra Baudrillard memang  paling sering digunakan oleh para peneliti untuk  menganalisa fenomena hiperealitas media sosial saat ini. Mulai dari penelitian serius yang bermuatan  politik sampai hal hal ringan dalam kehidupan sehari hari.  Hal ini bukti bahwa fenomena hiperealitas  memang dapat dilihat secara nyata diberbagai aspek kehidupan sosial-budaya kita dimasyarakat. Salah satunya Maria Febiana Christanti dalam jurnalnya berjudul “Instagramable” :simulation,simulacra, and hyperreality on instagram post.(dalam maria, 2021) dalam penelitian tersebut mengulas tentang postingan instagram. Peneliti memberikan pengetahuan tentang potensi realitas dari foto atau video yang dipoles yang diunggah ke Instagram.Penulis mengkaji kompleksitas ini menggunakan kacamata Jean Baudrillard dalam tulisannya tentang simulasi dan simulacra. Instagram merupakan media sosial yang membuat manusia ketagihan terhadap tanda dan simbol melalui foto dan video yang “instagramable”.Argumen utama yang digunakan peneliti dalam kajian  Baudrillard adalah bahwa tidak ada sesuatu pun dalam budaya kita yang "nyata" dalam arti apa pun. Simulacrum, dianggap sebagai sesuatu yang nyata, yaitu gambaran atau salinan dari sesuatu yang tidak ada. (dalam Wandalibrata, 2018).

Penelitian diatas menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi dan menggunakan teori dramaturgi (depan dan belakang panggung) untuk mengungkap realitas dan kepalsuan gambar-gambar yang “instagramable”. Kajian ini menganalisis dengan menggunakan empat tahap, yaitu refleksi terhadap realitas yang dalam, menutupi dan mendenaturasi realitas yang dalam, meliputi ketiadaan realitas yang dalam, tidak ada sangkut pautnya dengan realitas apa pun; itu adalah simulacrum murni. Hasil dari penelitian ini adalah simulacra lebih dari sekedar proses. Setiap tahapan yang dilakukan pengguna Instagram mencirikan suatu tingkat simulasi. Penelitian memberikan wawasan kepada kita bahwa simulasi yang “instagramable” adalah imajinasi yang tidak sepenuhnya benar atau tidak benar.

Penelitian serupa dilakukan oleh Yanti Dwi Astuti yang mengkaji  fenomena hiperealitas  era medsos melaui smartphone . Dalam jurnalnya yang berjudul “Simulation of Social Reality Through New Media Study on Yogyakarta Students Smartphones Users”. Peneliti mengamati bahwa  pemakaian smartphone  mengungkap simulasi realitas sosial pada aplikasi jejaring sosial yang mengubah lanskap komunikasi mahasiswa Kota Yogyakarta yang menjadi tanpa batas. Ruang buatan yang diciptakan oleh aplikasi smartphone menjadi realitas kedua bagi mahasiswa untuk berkomunikasi. Dalam penelitian tersebut memaparkan penggunaan smartphone telah banyak mengubah pola pikir dan tindakan mahasiswa di Yogyakarta . Mereka lebih banyak melakukan komunikasi, mengerjakan tugas kuliah, mencari hiburan, bisnis online shopping, menebarkan informasi, mengunggah foto, mengunduh jurnal dan e-book, memproduksi dan menyebarkan gambar-gambar meme yang lucu atau yang berkaitan dengan aktivitas tertentu dan melakukan pencitraan diri melalui simbol, gambar dan video yang sengaja mereka ciptakan.(dalam Yanti, 2017)

Nabillah Mahdiyyah Destriana mengkaji teori Budrillard dalam jurnal Hiperrealitas Foodstagramming dalam perilaku konsumsi di Indonesia. Dalam penelitian ini, peneliti mengamati aktivitas konsumsi masyarakat terkait makanan yang dijadikan gaya hidup melalui perilaku makan yang indah dan foodstagraming di Instagram. Peneliti menggunakan metode kualitatif untuk menggambarkan pola makan indah dan foodstagramming sebagai hiperrealitas di media sosial. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologis. Sumber data primer diperoleh dari media sosial Instagram yang fokus pada kegiatan foodstagramming komunitas dimana peneliti akan mengamati feed Instagram dari informan atau objek penelitian.Kemudian data lainnya berasal dari data wawancara dan observasi langsung dengan enam orang informan yang terdiri dari masyarakat sebagai konsumen kafe atau restoran, pemilik kafe atau restoran, dan barista atau orang yang bekerja di kafe atau restoran tersebut. Wawancara terhadap informan dilakukan secara langsung di kafe atau restoran yang menjadi objek penelitian ini yaitu di cold n brew dan kopi. Kegiatan observasi langsung bermaksud mengamati perilaku konsumen yang berkunjung ke kafe atau restoran.  Dalam temuan dan pembahasannya dalam Foodstagramming adalah “Makan cantik”. Makan cantik  merupakan suatu kegiatan makan yang dilakukan di kafe atau restoran tertentu untuk menyiarkan kegiatannya di media sosial. Masyarakat saat ini, khususnya generasi muda seolah-olah sedang berlomba-lomba melakukan aktivitas makan yang indah. Motif selain memang ingin mencoba menu  adalah motif harga diri dan kebutuhan mencari jati diri untuk menunjukkan eksistensinya dengan menunjukkan kemampuannya dalam mengunggah foto atau memposting foto/video di Instagram.Masyarakat postmodern adalah masyarakat yang mengutamakan konsumsi(dalam Nabillah,2020). Konsumsi saat ini tidak dapat dipahami sebagai nilai guna, namun lebih sebagai konsumsi tanda. Makan cantik kemudian foodstagramming menjadi ajang konsumsi rambu-rambu di media sosial Instagram dimana keinginan untuk memotret makanan kemudian diunggah ke media sosial untuk menunjukkan siapa dirinya melalui unggahannya. Masyarakat postmodern tidak lagi mengkonsumsi suatu benda berdasarkan manfaat atau fungsi benda tersebut, melainkan konsumsi berdasarkan tanda, simbol, dan gengsi. Kesimpulannya aktivitas makan saat ini bukan lagi sekedar pemenuhan kebutuhan fisiologis saja, namun juga sebagai melambangkan eksistensi dan kelas sosial masyarakat sehingga apa, di mana, kapan, dan bagaimana cara menyantapnya, menjadi simbol yang menunjukkan kelas sosial baru seseorang yang diunggah di medsos seperti instagram.Singkatnya Foodstagramming sebagai ajang pencitraan diri seseorang untuk menunjukkan harga diri sosialnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun