Mohon tunggu...
Widi Admojo
Widi Admojo Mohon Tunggu... Guru - Widiadmojo adalah seorang guru, tinggal di Kebumen

sedikit berbagi semoga berarti

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kalau Senyuman Bisa Membuat Disiplin, Kenapa Harus Ada Kekerasan?

27 Februari 2020   10:22 Diperbarui: 27 Februari 2020   10:34 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

  • Jujur saja, sebagai guru bidang bimbingan konseling, turut prihatin saya menyaksikan berbagai peristiwa di dunia pendidikan belakangan ini. Konon sih mengatas namakan gerakan kedisiplinan. Tetapi kok yang terjadi kekerasan, dan ancaman. Memang harus begitu ? Tergelitik rasanya dan sedikit emosi juga hati ini bila menyaksikan berbagai tayangan di media massa tentang tindakan-tindakan yang kurang pas dan keterlaluan dengan mengatasnamakan kedisiplinan. 

Coba bayangkan, logika keilmuannya dimana ya, ada kedisiplinan digerakkan dengan hukuman makan kotoran manusia. Bingung tapi juga kesal rasanya menyaksikan fenomena di dunia pendidikan yang salah kaprah seperti ini. 

Lalu beberapa waktu yang lalu ada guru yang memukuli muridnya dengan sangat emosional karena datang terlambat ke sekolah, di sebuah SMA N di Bekasi. Terus ada lagi guru yang menampar 10 muridnya di Purwokerto, dan tentu masih banyak lagi cerita pilu kekerasan di sekolah yang konon demi kedisiplinan siswa.

Coba mari kita lihat apa dampaknya terhadap kejadian-kejadian buruk tersebut. Pertama, yang paling menderita tentu siswanya. Siswa ini kan sebenarnya individu yang unik, bila kita sedikit mau mempelajari ilmu-ilmu perkembangan anak dan ilmu psikologi anak, anak adalah khas dengan berbagai macam warna kepribadian, sekaligus berbagai warna latar belakang yang melingkupinya. Satu dengan yang lainnya tidak sama. 

Sehingga tidak pas bila perlakuaan pendidikan kepada mereka disamaratakan tanpa pandang bulu. Si "A" bisa cepat menyesuaikan diri dengan kedisiplinan, tetapi si "B" mungkin membutuhkan proses yang agak panjang sedikit karena perbedaan latar belakang dan kondisi yang menyertainya. 

Pengalaman saya sebagai guru BK di sekolah, beberapa anak yang kurang cepat menyesuaikan diri di sekolah, termasuk mungkin kita sering sebut sebagai anak yang kurang respon terhadap kedisilinan, bila diperdalam mereka semua memiliki latar belakang yang mempengaruhi perilakunya. Kadang-kadang guru tidak mengerti apa sesungguhnya yang menyebabkan ia tidak atau belum mampu disiplin. 

Belum tentu anak ini tidak bisa disiplin, tetapi bisa jadi anak ini memiliki permasalahan yang cukup berat yang tidak memungkinkan dirinya untuk mampu hidup sama dengan teman yang lain karena faktor dirinya yang berbeda. 

Nah bagaimana jadinya bila anak yang sesungguhnya membutuhkan bantuan psikologis, justru ia dihadapkan pada tekanan psikologis yang sama beratnya saat berada di sekolah. Bagaimana menderitanya anak yang dari rumah sudah dirundung persoalan, ketika disekolah yang ia temui adalah kekerasan dan ancaman. 

Disisi lain, tentu semua sudah menyadari  bahwa ada banyak perlindungan hukum yang diberikan kepada anak anak di sekolah. Ada undang-undang perlinduan anak, yang sewaktju-waktu bisa menjadi bumerang bagi guru atau pendidik yang dalam penyelenggaraan pendidikannya bernuansa kekerasan dan menimbulkan ancaman fisik maupun psikologis bagi anak-anak. 

Bayangkan saja, penyesalan apa yang akhirnya disandang para pendidik yang pada akhirnya berususan dengan hukum dan menjadi korban hukum akibat kurang bijaknya dalam mendisiplinkan anak. Kalau sudah begini toh tidak ada manfaatnya sikap emosional dan kekerasan yang dipertontonkan meskipun mengatasnamakan pendidikan dan kedisiplinan.

Anak didik adalah individu yang harus dikembangkan potensinya, bakat minatnya, dan dituntun karakter kepribadiannya melalui metode-metode psikopaedagogik. Setiap individu berbeda-beda, dan mereka semua membutuhkan tuntunan yang pas agar berkembang dari tidak berilmu menjadi berilmu dari tidak disiplin menjadi disiplin dari tidak bertata krama menjadi bertatakrama.

Ada yang cepat ada yang lambat, itu hal yang mungkin saja terjadi. Bahkan perbedaan itu bisa jadi sangat jauh dan tajam. Siswa yang lamban sekali dalam menyesuaikan diri dengan kedisiplinan, barangkali anak ini memiliki latar belakang tertentu yang perlu dikaji mendalam dan membutuhkan empaty untuk tetap dibimbing agar menjadi memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri. 

Anak yang tidak disiplin. Bisa jadi ini ada problem yang membuat dirinya susah dan lamban menyesuaikan diri. Kesabaran dan ketekunan untuk mendalami secara lengkap menjadi lebih penting ketimbang melemparkan sikap emosional apalagi pemaksaan yang melukai secara psikologis maupun fisik anak didik yang memang masih membutuhkan pertolongan pendidikan. 

Ada baiknya, terhadap anak-anak yang belum memiliki kemampuan untuk cepat menyesuaikan diri dalam hal kedisiplinan, kita mungkin perlu justru mengedankan empaty dan simpaty kepada mereka. 

Sebab anak ini membutuhkan pertolongan yang lebih. Bukan amarah, dan ancaman. Anak anak semacam ini siapa tahu membutuhkan senyuman dari kita, karena sesungguhnya mereka sedang minta pertolongan karena ada banyak masalah yang sesungguhnya ia hadapi.

Menghadapi anak tidak disiplin dengan amarah, mungkin sepintas kelihatan berhasil. Anak terpaksa melakukan karena takut dan kuatir diperlakukan yang tidak baik lagi kepada dirinya. Tetapi essensi persoalan yang mendasar dari dirinya belum tentu terselesaikan dan terbantukan. Kecuali kita justru menambah beban penderitaannya.

Memberikan senyuman pada anak yang tidak disiplin tidak berarti memberikan pembenaran. Senyuman berarti simbol empaty dan simpaty untuk memberikan sinyal kepada anak bahwa kita siap membantu memberikan pertolongan untuk semua hambatan dan masalah kehidupan yang dialami. Nah semoga tulisan kecil ini bermanfaat. Tidak bermaksud menggurui.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun