"Rata -rata sekolah memploting pembiayaan untuk kegiatan peningkatan capaian nilai ujian nasional cukup besar. Itulah sebabnya, beban pembiayaan yang harus ditanggung masyarakat menjadi besar pula.
Bantuan operasional sekolah (BOS), yang semestinya menjadi pilar utama pembiayaan pendidikan di sekolah, menjadi tidak ada artinya karena ploting pembiayaan yang direncanakan jauh lebih besar dari jumlah dana bantuan operasional yang digelontorkan pemerintah."
Sikap pemerintah yang sebenarnya secara implisit sudah sangat tegas, yakni menggratiskan biaya pendidikan dasar. Ternyata di lapangan tetap saja sulit penerapannya.Â
Masih banyak sekolah yang merasa tidak cukup hanya menggantungkan bantuan pemerintah bernama BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Dengan berbagai cara, sekolah tetap memberikan beban kepada masyarakat untuk tetap memberikan partisipasi dan sumbangannya kepada sekolah guna memajukan pendidikan di sekolahnya.
Komite sekolah pada akhirnya menjadi alat untuk menggerakkan penggalangan dana guna memberikan dukungan pembiayaan untuk keperluan mencukupi kebutuhan dana kegiatan sekolah yang telah direncanakan.Â
Peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan nomor 75 tahun 2016 tentang komite sekolah, memang memberikan peluang bagi sekolah untuk menerima sumbangan pembiayaan pendidikan yang datang dari masyarakat melalui forum komite sekolah.
Betapapun semangat pemerintah untuk menggratiskan biaya pendidikan cukup jelas, di lapangan kata "gratis" itu masih berwarna remang-remang. Artinya, masyarakat tetap diharapkan sumbangannya untuk memberikan dukungan agar semua program pendidikan yang disusun sekolah dapat terlaksana dengan baik.
Bahwa sekolah dapat atau diperbolehkan untuk bekerja sama dengan masyarakat dalam pemenuhan pembiayaan pendidikan, memang secara regulasi dimungkinkan. Komitmen masyarakat untuk membantu pendidikan melalui forum komite sekolah memang diberi ruang melalui ketentuan-ketentuan dan mekanisme yang sudah diatur dalam regulasi yang mengatur bantuan masyarakat terhadap sekolah atau lembaga pendidikan.
Akan tetapi yang menjadi pertanyaan adalah apakah program pembiayaan yang disusun oleh sekolah dan disajikan kepada masyarakat sudah merupakan program pembiayaan yang berkualitas dan memiliki relevansi, dan urgensi yang akurat terhadap tujuan pendidikan? Apakah program pembiayaan yang disusun sudah terkaji dengan baik, sehingga memiliki kelayakan untuk mendapatkan sumbangan dari masyarakat?
Membaca program sekolah terkadang ploting kegiatan terbesar adalah pada kegiatan peningkatan mutu siswa. Kalimat peningkatan mutu sekolah ini sebenarnya tentu bagus, akan tetapi kalau kemudian ditelusuri lebih detail item-per item, banyak sekolah mengidentikkan peningkatan mutu hanya terbatas pada capaian hasil ujian nasional.
Hal itu membuat seolah mutu pendidikan hanya dilihat dari kacamata seberapa bagus capaian ujian nasional yang diperoleh siswa. Pemahaman keliru semacam ini membawa konsekuensi terhadap arah kebijakan program sekolah yang cenderung terfokus pada upaya-upaya kegiatan yang bernuansa ujian nasional sentris.
Itulah sebabnya, banyak sekolah yang memprogramkan kegiatan berbiaya besar tetapi melulu hanya untuk mendongkrak capaian siswa terhadap nilai ujian nasional mencapai hasil tinggi. Ambilah contoh, program try out ujian nasional, bimbel mata pelajaran ujian nasional, TOT Motivasi ujian nasional, pengadaan sarana prasarana terkait dengan ujian nasional seperti pengadaan buku latihan dan pembahasan soal ujian nasional, parenting untuk motivasi ujian nasional, dan beberapa program lainnya yang bernuansa ujian nasional.
Perhatian yang berlebih terhadap kegiatan ujian nasional tersebut yang secara proporsional tidak seimbang, menjadi pertanyaan kita semua apakah sedemikian pentingkah ujian nasional sehingga seluruh pusat perhatian sekolah dan masyarakat harus tertuju ke sana.