- Minggu keempat bulan Oktober 2019, adalah minggu mengejutkan di dunia pendidikan. Kenapa ? Ya karena saat itulah Presiden menggandeng sosok Nadiem Makarim, menjadi figur nomor satu di kementerian pendidikan dan kebudayaan untuk bergabung dalam kabinet Indonesia Maju. Banyak komentar aneka ragam terkait dengan pemilihan Nadiem Makarim menjadi menteri pendidikan. Selain kiprah di dunia kependidikan yang belum kelihatan, bos aplikasi transportasi Go Jek ini lebih tenar sebagai pebisnis ketimbang ketokohannya dibidang pendidikan.
Kementerian pendidikan sebagai rumah besar guru di Indonesia, secara strukturalis dan organisatoris, menjadi wadah utama guru mengembangkan profesionalitasnya, menempatkan secara sepadan harkat martabatnya, serta berjuang sekuat tenaga untuk menjadi benteng terdepan dalam  mengayomi dan memastikan guru di Indonesia berada pada tempat yang bermartabat dan sejahtera.
Beberapa masalah besar guru antara lain perihal rendahnya kualitas saing peserta didik bila disejajarkan dengan negara-negara lain, hasil uji kompetensi guru yang rata-rata dibawah standar, besaran tunjangan sertifikasi guru yang tidak seiring dengan profesionalitas, kinerja rendah, serta masih adanya gap yang terlalu besar antara guru pns dan guru honorer, saat ini menjadi masalah krusial guru yang harus diselesaikan kementerian pendidikan, khususnya direktorat jenderal guru dan tenaga kependidikan yang dikenal dengan sebutan Dirjen GTK.
Sementara itu disisi sebelah, Â jumlah guru yang cukup besar terkadang menjadi pesona tersendiri bagi para petualang politik untuk mencoba memanfaatkan potensi guru sebagai bagian penting perjuangan politiknya.
Fakta guru yang kemudian tergoda untuk terjun dalam kontestasi politik, ataupun sengaja berafiliasi dalam kancah politik, menambah persoalan baru bagi kementerian pendidikan.  Kendati bentuk pelibatan guru  dalam kancah politik ini bisa saja dimaknai sebagai bentuk strategi perjuangan guru  memperjuangkan kepentingannya.
Jumlah guru di Indonesia yang mencapai 3.357.935 guru, di antaranya masih berstatus sebagai guru honorer mencapai 704.503 guru, Guru Tidak Tetap 155.052 guru, serta guru lainnya yang belum jelas statusnya  berjumlah 121.378 guru, (data kemendikbud, 2019), menjadi pekerjaan rumah kementerian pendidikan, khususnya yang terkait dengan nasib guru honorer dan guru tidak tetap.
Perbedaan perlakuan terhadap guru honorer, dimana pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono, akses guru honorer terfasilitasi melalui  Peraturan Pemerintah No 48 tahun 2005, Tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Pegawai Negeri Sipil, sangat berbeda dengan regulasi yang mengatur nasib guru honorer ini di era pemerintahan Presiden Jokowi. Di mana akses guru honorer untuk menjadi pegawai negeri sipil menjadi lebih sulit. Kendati perjuangan guru honorer memperjuangkan nasibnya sudah sedemikian rupa.
Buntunya kesinambungan penanganan guru honorer ini dikarenakan semenjak tahun 2005 secara regulasi seharusnya sudah tidak ada lagi guru berstatus guru honorer. Karena berdasarkan peraturan pemerintah no 48 tahun 2005, semua guru honorer yang memenuhi persyaratan sampai  paling akhir tahun 2005, harus sudah terangkat menjadi guru PNS. Hanya saja dalam kenyataan di lapangan pengangkatan guru honorer tidak bisa terhindarkan karena kebutuhan jumlah guru yang masih kurang.
Problem guru honorer menjadi semakin tidak karuan, karena penanganan guru honorer itu sendiri tidak standar. Mulai dari gaji atau honor yang sangat rendah, bahkan terkadang tidak manusiawi, sampai pada fasilitasi yang banyak kendala dikarenakan status guru honorer banyak tidak tersentuh dalam berbagai kebijakan kementerian pendidikan dan secara khusus yang mengatur tentang guru.
Sebagai contoh, guru honorer tidak dapat mengikuti program sertifikasi guru  dalam jabatan, tidak memiliki akses untuk mendapatkan NUPTK (Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan), serta terbatasnya kesempatan mengikuti berbagai kegiatan pengembangan keprofesionalan, padahal di lapangan guru honorer kadang tidak selalu lebih buruk dari guru PNS.
Pendapatan guru honorer yang sangat rendah, karena dibatasi oleh regulasi tentang pembiayaan pendidikan, menambah parah nasib guru honorer di negeri ini. Sekolah tidak berkutik untuk memberikan penghargaan yang memadai pada guru honorer karena disatu sisi harus tidak bertentangan dengan regulasi yang mengatur tentang pembiayaan.