A. Teori perkembangan Psikososial menurut Erik Erikaon
Teori Perkembangan Psikososial Erik Erikson
Teori perkembangan psikososial Erikson menjelaskan perkembangan kepribadian manusia dalam beberapa tingkatan. Berikut ini dapat dilihat delapan tahapan perkembangan menurut teori psikososial Erikson:
1. Trust versus Mistrust (sejak lahir hingga 1 tahun)
Pada tahapan ini permulaan pembentukan kepribadian setiap individu. Rasa percaya tumbuh dari adanya perasaaan akan kenyamanan fisik dan rendahnya rasa ketakutan serta kecemasan tentang masa depan. Rasa percaya pada masa bayi membentuk harapan sepanjang hidup bahwa dunia adalah tempat yang baik dan menyenangkan untuk hidup (“Trust and Mistrust in International Relations,” 2006).
Kepercayaan dasar yang paling awal terbentuk selama tahap sensorik oral dan ditunjukkan oleh bayi lewat kapasitasnya untuk tidur dengan tenang, menyantap makanan dengan nyaman dan membuang kotoran dengan santai. Kebiasaan itu berlangsung terus dalam kehidupan bayi dan merupakan dasar paling awal bagi berkembangnya suatu perasaan identitas psikososial. Melalui pengalaman dengan orang dewasa, bayi belajar menggantungkan diri dan percaya pada mereka, tetapi mungkin yang lebih penting, ia mempercayai dirinya sendiri. Kepastian semacam itu harus mengungguli lawan negatif dari kepercayaan dasar yakni, kecurigaan dasar. Pengharapan merupakan kebajikan paling awal dan paling esensial yang melekat dalam hidup. Fondasi pengharapan pertama terletak pada hubungan dengan orang tua yang memberikan pengalaman-pengalaman seperti ketenangan, makanan dan kehangatan (Wiresti & Na’imah, 2020).
Pada saat yang sama, ia mengembangkan kemampuan untuk membuang pengharapan yang dikecewakan dan menemukan pengharapan dalam tujuan dan kemungkinan pada masa mendatang. Menurut Erikson, pengharapan adalah keyakinan yang bersifat menetap akan kemungkinan dicapainya hasrat- hasrat kuat. Tahap pertama kehidupan ini merupakan tahap ritualisasi numinous yaitu, perasaan bayi akan kehadiran ibu, dalam hal ini pandangannya, pegangannya, sentuhannya, teteknya atau “pengakuan atas dirinya”. Bentuk ritual numinous yang menyimpang dan terungkap dalam kehidupan dewasa berupa pemujaan terhadap pahlawan secara berlebih- lebihan atau idolisme (Khaironi, 2018).
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License
.
2. Autonomy versus Shame and Doubt (usia 1-3 tahun)
Tahapan ini adalah tahap kedua perekembangan individu yang ditandai oleh perkembangan kemandirian (Aristya & Rahayu, 2018). Anak di usia ini akan memasuki tahap mengenal dunia eksternal, yang mana anak akan mencoba mengenali dunia sekitarnya dengan mulut, mata dan tangan yang ia punya. Pada masa ini sampai batas-batas tertentu anak sudah mulai bisa berdiri sendiri, mencoba untuk duduk, berjalan, bermain, minum dari botol sendiri tanpa ditolong oleh orang tuanya, meskipun seringkali timbul keragu-raguan bahkan meminta pertolongan dari orang tua atau pengasuhnya. Anak-anak pada tahap ini sudah menampilkan rasa kemandiriannya (Suryana, 2016) .
Kemandirian anak akan optimal dan berkembang jika mendapat dukungan atau dorongan dari orang tuanya terhadap usaha yang dilakukan oleh anak (Holis, 2007). Namun, sebaliknya jika orang tua dalam mengasuh anaknya bersikap salah, maka anak dalam perkembangannya akan mengalami sikap malu dan ragu-ragu. Sedikit malu dan ragu adalah hal yang mestinya dianggap wajar. Tanpa itu, anak akan berkembang pada tendensi maladiptif, Erikson menyebutnya dengan impulsiveness yang akan membuat anak melakukan sesuatu tanpa pertimbangan. Orang yang kompulsif akan merasa semua gampang dilakukan dan akan sempurna, sehingga banyak orang yang pemalu dan merasa ragu pada dirinya. Sedikit kesabaran dan toleransi dalam membantu anak akan membantu perkembangan anak (Khoramnia et al., 2020).
Orang tua dalam mengasuh anak pada usia ini tidak perlu mengobarkan keberanian anak dan tidak pula harus mematikannya. Dengan kata lain, keseimbanganlah yang diperlukan di sini. Ada sebuah pernyataan relevan yang seringkali menjadi teguran maupun nasihat bagi orang tua dalam mengasuh anaknya yakni “tegas namun toleran”. Makna dalam kalimat tersebut ternyata benar adanya, karena dengan cara ini anak akan bisa mengembangkan sikap kontrol diri dan harga diri. Apabila anak tidak berhasil melewati fase ini, maka anak tidak akan memiliki inisiatif yang dibutuhkan pada tahap berikutnya dan akan mengalami hambatan terus-menerus pada tahap selanjutnya (Wiresti & Na’imah, 2020).
ISSN 2580 – 1058 DOI : 10.31932/ve.v12i2.1314
Mokalu V. R., & Boangmanalu C. V. J., Teori Psikososial Erik Erikson... |184
3. Initiative versus Guilt (3-6 tahun)
Masa ini sering disebut dengan masa pra sekolah (Preschool Age) yang ditandai dengan adanya kecenderungan initiative – guilty. Pada tahap ini, perkembangan anak ditandai dengan kemampuan prakarsa sesuai dengan tugas perkembangannya (Widiastuti, 2019). Tahap ketiga ini juga dikatakan sebagai masa bermain.
Tahap ini terjadi pada suatu periode tertentu saat anak menginjak usia 3 sampai 6 tahun, dan tugas yang harus diemban seorang anak pada masa ini ialah untuk belajar mempunyai gagasan (inisiatif) tanpa banyak terlalu melakukan kesalahan. Inisiatif yang dimaksud ialah respon positif pada tantangan-tantangan dalam kehidupan. Orangtua mengharapkan inisiatif yang ditimbulkan anak adalah ia mampu mengeluarkan idenya (Hidayat & Nur, 2018)
Apa yang harus dilakukan orang tua saat anak berada dalam tahapan ini? Orang tua diwajibkan memberi dorongan dan semangat bagi anak dalam mengeksplorasi dirinya. Jika tidak, anak akan tidak mampu mengembangkan prakarsa akibat kritik yang justru mematahkan semangat anak dan hanya membuatnya selalu memiliki rasa bersalah.
4. Industry versus Inferiority (usia 6-12 tahun)