Generasi Strawberry Racikan Kita
Chapter 1.
Beberapa waktu lalu, saat mengisi sebuah materi untuk guru dan kepala sekolah di sebuah kota di pinggiran Jakarta, saya bertanya kepada peserta pengertian bonus demografi. Sebenarnya saya hanya ingin mengetahui kedalaman pengetahuan peserta saja, tanpa menduga bahwa ternyata di dalam ruangan tersebut, tidak ada yang mampu menjawab dengan tepat. Padahal dalam beberapa kesempatan frasa bonus demografi ini sering menjadi tajuk utama para pejabat pemerintahan saat memberikan sambutan pada acara-acara formal di lingkungan kedinasan terkait. Jadi izinkan saya disini menyimpulkan bahwa besar kemungkinan pesan bonus demografi ini ternyata belum dipahami benar oleh garda terdepan pendidikan di Indonesia.
Namun di sisi lain, para guru dan orang tua menjadi penyumbang suara terbanyak atas complain bahwa  generasi Z  adalah generasi yang  rapuh, gampang putus asa, tak tahan banting, kurang etika, egois dan lain sebagainya. Setiap saat dalam obrolan ringan di dalam ruang guru, para guru mengeluhkan siswa siswinya yang niretika memakai perona bibir, pacaran melampaui batas kecepatan..eh, batas norma maksudnya..hehe
Sebagai manusia Indonesia yang terlahir di Jawa Tengah yang mengedepankan etika dalam berghibah, biasanya saya akan menunjukkan ekspresi setuju, atau bahkan menambahi daftar Panjang kesalahan Generasi Z, alias siswa/siswi kami. Sampai tiba di suatu hari, saat rutinitas mengeluhkan sikap siswa siswi terjadi, saya menceletuk: tapi anak-anak kita sekarang kan hasil dari didikan kita??Naah!!semua pun terdiam..
Sudah sejak lama deru dada ini kian nyaring saat melihat fenomena bahwa sesungguhnya, yang dilakukan oleh orang-orang dewasa yang telah memiliki anak-anak gen Z telah memperolok hasil didik mereka sendiri. Saya banyak melihat di jalanan ibu mempermalukan anak, Hape diberikan di usia yang terlampaau dini, hanya agar ibu bapak bisa tenang melakukan aktivitasnya sendiri. Bapak merokok sembarangan, ibu bergunjing sambi menyuapi anak, ibu memotong antrian, bapak membuang sampah sembarangan, ibu bapak saling memaki, lalu bahkan banyak saya melihat bapak ibu menyuap agar anaknya bisa masuk sekolah smp, sma..daan banyak lagi.
Dan saya melihat bahwa guru-guru di masa kini adalah guru-guru yang di program untuk mengajar. Bukan untuk mendidik. Warna tanggung jawab menyelesaikan materi jauuuh lebih mencolok dari pada warna MENJADIKAN MATERI SEBAGAI MEDIA DIDIK SOFT SKILL SISWA SISWI. Dan saya rasa ini merupakan dosa besar Pendidikan kita. Dan sialnya ini pula yang dilakukan oleh banyak orang tua di rumah masing-masing. Pemenuhan materi anak menjadi hal utama daripada memenuhi anak dengan nilai-nilai baik yang sudah semestinya menjadi hak dasar anak sebagai manusia yang beradab.
Bagaimana anak-anak kita mau belajar peka, jika Ibu enggan membawa anaknya ke dapur karena ribet.Bagaimana anak kita belajar menyukai alam jika Sebagian besar waktunya ibu memberikan gawai untuk menonton dora alih-alih ibu membiarkan anak-anak bermain, berlari bersama teman-temannya? Bagaimana bisa belajar menjadi penyayang jika orang tua tak pernah menanyakan suasana hati anak-anaknya?
Paragraf diatas pun sampai saat ini belum terjawab di sekolah-sekolah, Dimana katanya pusat Pembangunan peradaban berada. Guru dating, menyampaikan materi, ujian , tiada hati yang tertambat dalam materi yang disampaikan. Nir olah roso ala Ki Hajar Dewantoro. Pintar belum tentu, nyontek sudah tentu (hasil pengamatan bertahun-tahun sebagai guru)
Jadi seharusnya kita tak lagi heran dengan hasil dari system Pendidikan di negara yang gemah ripah loh jinawi (Berlimpah kekayaan) ini. Dan setelah tak heran, mari kita tingkatkan levelnya menjadi malu. Karena besar kemungkinan, musabab dari keluhan atas sikap  anak-anak kita, adalah pola asuh kita sebagai orang tua dan guru. See?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H