Presiden Jokowi hari ini, Kamis (2/3) akhirnya ikut berkomentar terkait kasus pejabat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan Rafael Alun Sambodo yang sedang viral. Seperti yang dilansir kumparan.com, Jokowi menyampaikan bahwa rakyat pantas kecewa atas kasus yang viral belakangan ini. Atas dasar itu, dia mengingatkan agar para pejabat, termasuk aparat hukum agar betul-betul menjaga birokrasi.
"Dari komentar-komentar yang saya baca baik di lapangan maupun di media sosial karena peristiwa di Pajak dan di Bea Cukai, saya tahu betul, mengikuti kekecewaan masyarakat terhadap aparat kita, terhadap pemerintah," ucap Jokowi.
Jokowi juga mengingatkan agar para menteri mengingatkan jajaran di bawahnya untuk tidak mempertontonkan gaya hidup hedon. Dia meminta agar perilaku seperti itu dibenahi.
"Saya minta pada seluruh menteri dan kepala lembaga untuk mendisiplinkan aparat di bawahnya." ujar Jokowi di Istana Negara.
Seperti kita ketahui bersama, Rafael tersorot setelah anaknya, Mario Dandy Satriyo tersandung kasus penganiayaan. Netizen kemudian 'mengulik' harta kekayaannya yang begitu fantastis jika dibandingkan dengan jabatannya di Ditjen Pajak. Teranyar pejabat di Kemenkeu lainnya yaitu Eko Darmanto juga menjadi sorotan. Pejabat Bea Cukai ini diketahui kerap pamer harta di sosial media miliknya.
Kasus hukum yang melibatkan pejabat di Ditjen Pajak bukan hal baru di Indonesia. Tentunya kita masih ingat sosok Gayus Tambunan yang terlibat kasus mafia pajak sehingga memiliki harta hingga puluhan miliar. Kemudian pada 2014, KPK menetapkan mantan Ketua BPK Hadi Poernomo sebagai kasus pajak BCA saat menjabat Direktur Jenderal Pajak pada 2002-2004. Ia dianggap menerima keberatan pembayaran pajak yang diajukan BCA sehingga merugikan negara sekitar 375 miliar. Tetapi pada Mei 2015, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan gugatan praperadilan yang diajukan Hadi Poernomo atas penetapan dirinya sebagai tersangka oleh KPK.
Petugas atau pegawai di bidang pajak dan bea cukai memang sangat rentan terhadap godaan. Lebih dari setengah abad lalu, Presiden Sukarno sudah mewanti-wanti kepada para pegawai pajak dan bea cukai ketika menyampaikan amanatnya pada acara ramah tamah dengan karyawan pajak dan bea cukai di Istana Negara - 16 Februari 1965.
Menurut Presiden Sukarno, pegawai pajak dan bea cukai penuh dengan godaan dan cobaan. Tentu saja dalam bentuk sogokan.
Waktu aku melantik sebagian dari mereka beberapa waktu yang lalu (pegawai pajak dan bea cukai-red), tidak ada karyawan yang hidup di dalam bahaya verleiding lebih daripada kamu. Verleiding itu apa toh? Godaan, cobaan. Yaitu verleiding ini.... (Presiden menunjukan dengan isyarat menghitung uang-red). Kalau tidak di muka ya dibelakang. Ya pajak, bea cukai, waduh, waduh, orang yang nyogok banyak sekali.
Presiden Sukarno kemudian menyampaikan pengaduan dari beberapa orang asing mengenai perilaku para pegawai bea cukai.
Saya ini sebagai Presiden Republik Indonesia, sering didatangi orang yang asing yang mengeluh. Klagen, mengadu kepada saya. Aduh Paduka Yang Mulia, itu bagaimana pegawai-pegawai bea cukai itu, kadang-kadang kok begitu. Begitu bagaimana? Ininya itu lho, bukan main.
Ada juga orang asing yang masuk itu bukan dia dibegitukan, tetapi dia belum apa-apa dia sudah datang dengan.... Arloji tangannya. Sambil lewat itu, arloji tangan diserahkan. Saban-saban dia datang di Jakarta, sakunya itu penuh dengan jam tangan, yaitu untuk... diterima oleh karyawan-karyawan kita dengan ngglenggem. Ada juga yang membawa pesawat portret, camera, phototostel. Juga begitu, belum apa-apa sudah dikasih phototostel kepada pegawai kita.
Kemudian, Presiden Sukarno mengingatkan dengan keras untuk tidak melakukan tindakan yang membuat malu bangsa Indonesia
Saya berkata, jangan! Jangan saudara-saudara jangan! Saya sudah kasih perintah supaya mendisiplinkan sekuat-kuatnya kita punya karyawan-karyawan ini. Malu kita saudara-saudara, orang-orang asing yang mau masuk Indonesia itu.
Nah ini saudara-saudara saya minta saudara-saudara jangan terjadi lagi. Ini merugikan kepada negara kita, merugikan kepada nama kita. Dan kecuali itu merugikan kepada moral, moral saudara-saudara sendiri.
Itu merendahkan kita punya martabat, merendahkan kepada martabat negara, martabat bea cukai, martabat saudara-saudara sendiri.
Demikian beberapa potongan amanat yang antara lain berisi 'teguran' dari Presiden Sukarno kepada pegawai pajak dan bea cukai, 58 tahun yang lalu. Menariknya adalah, teguran tersebut masih sangat relevan dengan kondisi saat ini. Bahkan ada satu kesamaan dengan presiden Jokowi hari ini yaitu arahan kepada para menteri dan pimpinan lembaga untuk mendisiplinkan pegawainya.
Sumber Arsip:
ANRI, Daftar Arsip Pidato Presiden Sukarno 1958-1967, No. 704
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H