14 Februari orang lebih mengenalnya sebagai Hari Kasih Sayang atau Valentine's Day. Namun, di tanggal ini terdapat peristiwa sejarah di Indonesia yang begitu penting untuk kita ingat kembali yaitu bagaimana sekelompok pemuda yang tergabung dalam Pembela Tanah Air (PETA) Blitar memberontak kepada tentara Jepang. Pemberontakan tersebut dilatarbelakangi keprihatinan pada nasib penduduk Indonesia khususnya di Blitar yang hidup sengsara di bawah kekuasaan Jepang. Lalu bagaimana hubungannya dengan Sukarno yang saat itu menjadi tokoh penting di lingkaran pemerintah pendudukan Jepang? Apakah Sukarno mengetahui rencana peristiwa ini?
Pembentukan PETA
PETA adalah salah satu organisasi militer yang dibentuk pada masa pendudukan Jepang. Berbeda dengan Heiho, PETA beranggotakan dan dipimpinan oleh orang Indonesia sendiri. Tujuannya jelas yaitu mendukung Perang Asia Timur Raya, dimana kita mengetahui saat itu Jepang sedang terlibat dalam Perang Dunia II. Ide pembentukan pasukan yang melibatkan orang Indonesia berasal dari Raden Gatot Mangkoepradja sejak bulan Mei 1942. Ide tersebut baru terwujud ketika keluar maklumat Osamu Seirei No. 44 tentang pembentukan PETA pada 3 Oktober 1943. Tentara PETA difungsikan sebagai tentara teritorial yang berkewajiban mempertahankan wilayahnya. PETA kemudian menarik banyak pemuda dan pelajar Indonesia untuk bergabung. Mereka selain mendapat pelatihan fisik, diajarkan pula tentang semangat patriotisme.
Pemberontakan
Semangat patriotisme untuk membela tanah air ternyata juga memicu kesadaran untuk berjuang melawan penindasan dan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh tentara Jepang itu sendiri. Pemuda yang tergabung dalam tentara PETA di Daidan (batalyon) Blitar melihat dengan mata sendiri bagaimana penyiksaan terhadap penduduk yang tergabung dalam romusha.
Peter Kasenda dalam bukunya Soekarno di Bawah Bendera Jepang (1942-1945) menceritakan terjadi kesepakatan di antara beberapa komandan pasukan Daidan Blitar dengan daidan di sekitar Jawa Timur lainnya untuk menghentikan penindasan tentara Jepang tersebut. Kemudian dilakukan beberapa kali pertemuan yang dipimpin oleh Shodanco Supriyadi untuk membahas perlawanan dan pemberontakan. Sebagai informasi, tingkatan dalam PETA yang paling tinggi yaitu Daidanco, Cudanco, Shodanco, Budanco dan Giyuhei. Dapat dikatakan Supriyadi berada pada level menengah.
Dalam buku Tentara Gemblengan Jepang yang ditulis Joyce J Lebra, dijelaskan persiapan-persiapan yang dilakukan Supriyadi dan para Shodanco dengan menggelar pertemuan rahasia sejak September 1944. Supriyadi merencanakan aksi itu bukan hanya pemberontakan tetapi sebuah revolusi. Harapannya selain tentara PETA yang mengangkat senjata, juga melibatkan kekuatan rakyat yang lebih luas.
Namun sebelum pemberontakan disiapkan dengan matang, tersebar desas-desus bahwa Kempeitai (satuan polisi militer/polisi rahasia Jepang yang terkenal kejam) telah mengetahui rencana mereka. Supriyadi yang khawatir akan ditangkap terlebih dahulu, tanpa menunggu dukungan dari daidan wilayah lainnya, memerintahkan dimulainya pemberontakan. Pada 14 Februari 1945 pukul 03.00 WIB, Supriyadi dan pasukannya menembakkan mortir ke Hotel Sakura yang menjadi kediaman para perwira Jepang. Markas Kempeitai juga ditembaki senapan mesin. Akan tetapi, pemberontakan ini ternyata sudah diketahui sehingga prajurit Jepang di sekitar markas telah lebih dulu pergi.
Setelah serangan itu, Supriyadi dan anak buahnya bergerak ke daerah Gunung Kelud dengan membunuh beberapa tentara Jepang. Supriyadi juga berhasil membawa beberapa senjata dan logistik tentara Jepang. Bisa dikatakan pemberontakan tersebut tidak berjalan sesuai rencana, karena gagal menggerakkan satuan lain untuk memberontak. Rencana pemberontakan ini pun terbukti sudah diketahui Jepang.
Jepang kemudian mengirimkan pasukan untuk memadamkan pemberontakan itu. Puluhan Perwira dan prajurit PETA dari Blitar dimasukan ke penjara, lalu mereka diadili di Jakarta. Terdapat enam orang divonis hukuman mati, enam orang dipenjara seumur hidup, sisanya dihukum sesuai tingkat kesalahan.