Berawal di KMB
Konferensi Meja Bundar (KMB) yang berlangsung pada 23 Agustus 1949 hingga 2 November 1949 menyisakan satu persoalan terkait status Irian Barat. Delegasi Belanda menginginkan Irian Barat mendapatkan status khusus, karena menganggap tidak mempunyai hubungan dengan wilayah Indonesia lainnya. Sementara Delegasi Indonesia berpendapat bahwa Irian Barat adalah bagian dari Indonesia Timur yang termasuk dalam wilayah Republik Indonesia Serikat (RIS) dan selama ini telah terjalin hubungan etnologis, ekonomi, dan agama (Bone, 1952:57). Untuk menghindari kegagalan KMB, disepakati bahwa masalah Irian Barat akan diselesaikan dengan perundingan oleh Kerajaan Belanda dan RIS dalam waktu setahun sesudah tanggal penyerahan kedaulatan, yaitu pada 27 Desember 1949.
Akan tetapi sejak tahun 1950-an, pemerintah Belanda secara eksplisit terus mendukung kemerdekaan Irian barat. Sikap Belanda itu membuat masalah Irian barat selalu menjadi agenda rutin bagi kabinet-kabinet yang memerintah karena pada dasarnya pembebasan Irian Barat merupakan suatu tuntutan nasional yang didukung oleh semua partai politik dan semua golongan. Tuntutan itu didasarkan atas pembukaan UUD 1945, yaitu: “Untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia....”
Kebuntuan Jalur Diplomasi
Sebelum Presiden Sukarno bersikap keras kepada Belanda sebenarnya telah diusahakan dengan cara-cara damai, yaitu melalui jalur-jalur diplomasi pasca penyerahan kedaulatan. Salah satu bentuknya yaitu perundingan bilateral dengan Belanda dalam bentuk Konferensi Menteri-Menteri Uni Indonesia-Belanda. Konferensi ini berlangsung pada Maret 1950 di Jakarta dan 4 Desember 1950 di Den Haag. Hasilnya adalah kesepakatan untuk membentuk Komisi Gabungan yang bertugas untuk mengumpulkan fakta tentang Irian Barat dan melaporkannya kepada Uni. Akan tetapi, hasil komisi tersebut selalu mempunyai tafsiran berbeda tentang hak atas Irian Barat sehingga perundingan menemui jalan buntu. (Djamhari, 1995: 8).
Kegagalan perundingan dengan Belanda membuat Indonesia menggunakan upaya lain dalam bidang diplomasi politik. Diantaranya dengan mencari dukungan dalam forum internasional seperti Konferensi Asia-Afrika (KAA) dan Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Melalui KAA, Indonesia berhasil memperoleh dukungan dengan memasukan masalah Irian Barat ke dalam komunike akhir KAA. Sementara perjuangan melalui PBB dilakukan pada Sidang Umum PBB ke IX tahun 1954 hingga Sidang Umum PBB ke XII tahun 1957. Akan tetapi setiap resolusi yang diusulkan oleh Indonesia selalu mengalami kegagalan.
Konfrontasi Politik dan Ekonomi
Perjuangan melalui diplomasi politik tersebut ternyata belum berhasil merubah status Irian Barat. Oleh karena itu, Presiden Sukarno memutuskan untuk menempuh jalan yang lebih keras yaitu konfrontasi. Pada awalnya dilakukan melalui konfrontasi politik dan ekonomi. Bentuk dari konfrontasi politik yaitu pemutusan hubungan Uni Indonesia-Belanda pada 15 Februari 1956, pembatalan persetujuan KMB pada 2 Maret 1956 dan membentuk Provinsi Otonomi Irian Barat pada 16 Agustus 1956. Sementara itu, bentuk dari konfrontasi ekonomi yaitu melakukan pemogokan dan menasionalisasi perusahaan milik Belanda seperti maskapai penerbangan, maskapai pelayaran, bank, pabrik gula, dan perusahaan gas oleh kaum buruh dan karyawan. Konfrontasi politik dan ekonomi mencapai puncaknya pada 17 Agustus 1960 ketika Pemerintah Indonesia secara resmi memutuskan hubungan diplomatik dengan pemerintah Kerajaan Belanda (Cholil, 1971: 15-23).