"Kita yang menjadi penyelenggara di sini barangkali belum dapat merasakan sedalam-dalamnya akan arti pertemuan kita di sini, tetapi ahli sejarah kemudian hari akan lebih dalam meninjau makna dan arti kejadian itu dalam sejarah perjuangan rakyat Indonesia."
Demikianlah pernyataan dari Moh. Hatta selaku Ketua Delegasi dari Republik Indonesia (RI) dalam pembukaan Konferensi Inter-Indonesia I di Yogyakarta.
Akan tetapi harapan tersebut belum sepenuhnya dapat terwujud. Karena tidak banyak sejarawan yang menulis tentang Konferensi Inter-Indonesia, dan banyak generasi muda yang tidak mengetahui peristiwa penting ini.
Konferensi Inter-Indonesia adalah sebuah mata rantai yang dilupakan dari proses panjang perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan memperoleh pengakuan kedaulatan dari Belanda. Konferensi Inter-Indonesia juga merupakan wujud dari konsensus nasional antara RI dengan negara-negara bagian bentukan Belanda yang tergabung dalam Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO).
Politik Federal ala Belanda
Pasca memproklamasikan kemerdekaanya, pemerintahan RI belum dapat berjalan dengan tenang. Hal ini dikarenakan usaha Belanda yang ingin berkuasa kembali di bumi Indonesia. Usaha tersebut dilakukan dengan berbagai cara diantaranya melalui Agresi Militer I tahun 1947 serta Agresi Militer II tahun 1948, yang mereka sebut sebagai aksi polisionil.
Belanda ternyata tidak hanya menggunakan cara-cara militer. Penerapan devide et empire model baru yaitu dengan membentuk negara-negara bagian menjadi cara lain. Pada Desember 1946 usaha itu dapat terwujud dengan terbentuknya Negara Indonesia Timur (NIT) yang disahkan dalam Konferensi Denpasar. Pembentukan NIT bisa dikatakan sebagai awal dari lahirnya negara-negara bagian lainnya seperti Negara Pasundan, Negara Sumatra Timur, Negara Madura, Negara Sumatra Selatan.
Politik federal yang digagas oleh van Mook terbilang sukses ketika negara-negara bagian tersebut membentuk organisasi bernama BFO. Organisasi ini diharapkan dapat menekan Pemerintah RI di Yogyakarta dan mendukung setiap tindakan Belanda di Indonesia.
Jalan Menuju Konsensus
Pada perkembangannya negara-negara bagian yang tergabung dalam BFO tidak sepenuhnya mendukung Belanda bahkan seringkali berbeda pendapat. Hal ini dikarenakan kekecewaan terhadap Belanda yang terus melanggar perjanjian dengan RI. Akhirnya banyak tokoh dari BFO yang bersimpati kepada perjuangan RI, diantaranya Anak Agung Gde Agung dari NIT.