Markus, Gayus, dan segala macam isu yang berkaitan dengannya menjadi menu utama berbagai headline media baik cetak maupun elektronik. Juga menjadi buah bibir masyarakat yang 'sadar berita'. Berbagai macam opini serta wacana bermunculan, baik dari pakar di bidangnya masing-masing, maupun suara-suara dari citizen jurnalism. Dari semua yang kubaca, kulihat, kudengar (sejauh ini), semuanya serempak, sepakat, membentuk jama'ah untuk menghakimi 'nista' aktor dibalik kasus-kasus tersebut. Pembelaan dalam bentuk apapun akan segera ditanggapi dengan picingan mata apatis. Tindakan tersebut sah-sah saja. Sejauh masih dalam 'jalur wajar' kebebasan bersuara dan berpendapat yang bertanggung jawab, akan sangat membantu membentuk atmosfer jurnalisme yang sehat. Hilang dan ketiadaan kritik, akan melahirkan kepongahan yang dapat menzlimi baik diri sendiri, maupun sekitar. Apa yang dilakukan gayus dan para konconya tersebut, jika 'hanya' dilihat dari satu sudut pandang, dan memakai kacamata 'PKn' semata, lahirlah suara publik yang semerta-merta menyerang mereka. Memang, (dengan melihat semua bukti dan kesaksian yang ada), tak ada alasan apapun yang dapat melegalkan tindakan mereka. Sayangnya, 'menyerang' orang, maupun tindakan mereka, bisa dikatakan seperti tindakan 'memotong rumput'. Karena, tanpa membunuh sampai akarnya, tindakan tersebut yang hanya akan melahirkan 'kegiatan rutinan' yang, seperti sifat kegiatan rutinan lain, rawan akan sifat 'lalai'. Lalu apa akarnya? Stigma, Mainstream. Stigma seperti apa? Mainstream seperti apa? Pola pikir kapitalis serta pola hidup hedonis. ***
"Belajar yang rajin ya nak? Sekolah yang tinggi, biar jadi orang sukses."
Sang anak hanya mengangguk mengiyakan. Patuh dalam keluguan, belajar karena perintah bukan kesadaran. Dan, dia pun tak pernah mendapatkan esensi, tak pernah mengerti apa 'belajar' itu sebenarnya. Hidup dalam 'rel dogma' kehidupan 'konvensional' membuat hari-harinya hanya dipenuhi dengan disiplin ilmu, dan nilai dirinya hanya diukur dengan angka-angka akademis. Dan, akhirnya, apa yang diinginkan orang tuanya pun tercapai. Ijazah pun didapatkannya. Sebuah 'kertas keramat' yang diyakininya, sebagai "surat untuk hidup" ...
"Hai kawan, kerja dimana sekarang?"
...
"Ngomong-ngomong calon suamimu itu gimana ekonominya?"
...
"Pah! Beliin dong... aku kan pengen kaya anak-anak laen..."
... Suara-suara itu... hanyalah sebagian kecil yang singgah dalam hidupnya. Tak terhitung jumlahnya, suara-suara lain yang 'mengusik' dan memprovokasinya. Tuntutan-tuntutan materi dan desakan ekonomi mengisi kesehariannya. Entah karena kepribadiannya yang lemah, entah karena demikian derasnya, hingga, mau tak mau, dihiraukannya juga suara-suara itu. Dan, tibalah saatnya. Saat dia memiliki kesempatan. Kesempatan yang dapat membebaskannya dari tekanan-tekanan itu. Namun, dalam kesempatan itu, ditemukannya pula kebimbangan. Memang, kesempatan itu dapat meningkatkan harkatnya, tetapi juga dengan risiko dapat pula menurunkan harkatnya di titik terendah. Kesempatan itu pun melahirkan dilema.... *** Apa yang kemudian menjadi keputusan dan pilihannya, adalah pertanyaan : Apa yang Anda perbuat? Bukan sebagai 'pemilik kesempatan'. Tetapi sebagai bagian dari masyarakat pembentuk 'stigma'.
We can't change our nation directly. But we do can change our neighborhood.
*) Ilustrasi di atas hanyalah fiktif belaka. Kesamaan tokoh dan peristiwa, merupakan kebetulan yang disengaja. sumber gambar disini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H