Mohon tunggu...
Widhi Satya
Widhi Satya Mohon Tunggu... -

[nihil]

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Budaya Jawa... Nasibmu Kini

10 April 2010   01:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:53 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_115087" align="aligncenter" width="263" caption="mengharap wayang kembali ke 'ketinggian'-nya yang semula"][/caption] Gundul-gundul pacul Gembelengan… Nyunggi-nyunggi wakul Gembelengan… Wakul glimpang segane dadi sak latar… *** Lama tak kudengar nyanyian itu. Aku rindu. Aku rindu suara anak-anak yang menyanyikannya. Lagu-lagu daerah. Bukan lagu-lagu yang 'seharusnya' tidak diperuntukkan untuk usia sebayanya. *** Budaya Jawa nasibmu kini. Hidup segan, mati pun tak mau. Mainstream bahwa segala hal tentang budaya = norak = kuno nampaknya telah mengakar kuat dalam generasi penerusmu. Anak-anak lebih hafal lagu-lagu 'dewasa' tanpa makna dan nihil nilai edukasi daripada tembang-tembang macapat. Anak-anak lebih hafal nama-nama karakter dalam anime impor dari jepang, daripada nama-nama karakter dalam cerita pewayangan. Jangan salahkan anak-anak. Child never wrong, adult does. Salahkan media visual (media paling dekat dengan masyarakat) dengan segala macam konten 'impor'-nya yang jauh dari norma dan karakteristik dasar bangsa. Pancasila, serta budaya bangsa, hanyalah menjadi komoditas 'kiri' bagi budak rating seperti mereka. Tanyakan pada guru SBD yang loyal, apakah dengan jumlah jam yang minim, cukup untuk memenuhi 'rasa haus' budaya Jawa untuk dilestarikan? Jangan umpat anak-anak dengan predikat 'tak punya unggah-ungguh' jika di sekolah krama inggil sebagai disiplin ilmu kalah oleh prioritas english education. Alih-alih memperolehnya di rumah, para orang tua 'modern' merasa lebih 'gengsi' dengan membiasakan anaknya berbahasa Indonesia. Dengan gelombang globalisasi dan derasnya 'invasi budaya' serta minimnya kesadaran akan budaya daerah, jangan kaget jika lambat laun Aksara Jawa serta legendanya, punah, digantikan hiragana, katakana, dan kanji. Jaran kepang serta pertunjukan wayang, punah, digantikan parade musik, road race, break dance, dan lain sebagainya. Kenapa meneriakkan ganyang Malaysia? Kalau kita sebagai pemilik budaya saja malas melestarikannya? Tak perlu pula malu untuk berkaca pada bangsa lain yang lebih mengapresiasi budaya kita. Aku bukan orang yang serba tahu ataupun pakar sastra dan budaya Jawa. Hanacaraka pun aku telah lupa. Tapi setidaknya aku tahu, dan aku peduli. Aku tahu sastra jawa bukan dari bangku sekolah, tapi dari http://jv.wikipedia.org. Kenapa? Karena dulu, ketika aku masih duduk di bangku sekolah, Basa Jawa benar-benar pelajaran yang membosankan. Tak perlulah diadakan survei yang menghamburkan uang negara, karena hampir semua siswa akan menjawab serupa. Berangkat dari situlah, hal pertama yang harus dibenahi adalah mainstream. Akarkan rasa cinta yang kuat akan budaya jawa maka mainstream itu pun akan berubah dengan sendirinya. Tidak mudah memang. Perlu kerja keras dan juga kreativitas. Tapi, semua itu perlu dan darurat sifatnya, jika tak ingin hasil karya nenek moyang kita sia-sia, serta supaya Jawa tetap menjadi "Jawa". *** Sekar gambuh ping catur Kang cinatur Polah kang kalantur Tanpo tutur katulo-tulo katali Kadaluwarso katutur Katutuh pan dadi awon *** sumber gambar disini sumber audio disini

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun