Mohon tunggu...
Widhi Satya
Widhi Satya Mohon Tunggu... -

[nihil]

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Ada Burung di Antennaku

8 Mei 2010   07:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:20 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_136181" align="aligncenter" width="262" caption="Dokumentasi Pribadi: Burung yang bertengger di antennaku. "][/caption] Hai kau yang bertengger di atas sana. Berkicau dan meracau. Nyaring, merdu, semaumu, sesukamu. Tak tahukah kau, benda apa yang kau hinggapi? Ah! Mana mungkin kau tahu. Kuberitahu. Itu namanya antenna. Kata bapakku yang ahli elektronik, gunanya untuk menerima transmisi sinyal UHF. Apa itu UHF? Mana kutahu! Yang aku tahu, dari benda yang kau tenggeri itu, televisiku bisa menampilkan gambar dan acara yang beraneka rupa. Jangan tertawa, karena saking beranekanya, hingga tak jarang (baca: sering) sekali seragam, hingga aku bingung, apakah mungkin televisiku monogram? Juga, tahukah kau. Dari benda yang kau tenggeri sekarang ini. Banyak sekali hal lucu yang ganjil, aneh, tak lumrah dan yang kuherankan kenapa mereka seolah mendoktrin supaya itu semua menjadi lumrah? Ghibah dan semacamnya, ribut, gatal,  tak sabar ingin mengendus urusan (baca: aib) orang. Orang-orang itu, kawanku, yang gemar sekali mengorek-ngorek aib orang. Mereka pintar! Sangat pintar! Mereka akses! Mereka paksa! Agar beroleh fakta, atau minimal bicara. Yang kemudian, dapat mereka sunting, tambahkan, kurangi, dan putarbalikkan sesuai selera mereka yang gila akan kontroversi. Dan, akses itu, kawanku, lucu! Selalu begitu-begitu! Kubilang salah tempat. Mereka seperti orang bersenjata api, yang menodongkan moncongnya pada kasir, teller, atau brankas-brankas lain, yang mereka dapat dengan instant beroleh uang karenanya. Mereka todongkan senjata api itu dengan mantra "kebebasan pers", "kalian dibesarkan media", jika sudah ditodong seperti itu, perlawanan masih dilakukan, ditariklah picu, dan, DOR! Boikot pun dieksekusikan. Yang aku heran, kenapa tak mereka todongkan saja senjata itu pada pejabat-pejabat yang diisukan korupsi itu? Paksa! Korek semua fakta! Kenapa? Sampai sekarang tak terlihat perubahan yang nyata? Begitu eksklusifkah mereka? Ah! Persetanlah mereka kawan! Suaraku mana masuk hitungan. *** Kembali ke tontonan itu kawan, agar tak OOT. Herannya aku, orang lain, khususnya remaja dan ibu-ibu, menontonnya, seolah tak memiliki rasa jemu! Apa menariknya itu-itu melulu! Kawin cerai selalu alasan klise yang diucapkan dengan entengnya "sudah tidak ada lagi kecocokan". Bah! Memangnya nikah melulu kecocokan saja! Jika melihat wajah lugu anak yang dikorbankan, aku bertanya, siapa sebenarnya yang anak-anak? Belum masalah si anak kemudian menjadi rebutan. Hak asuh katanya. Daripada berebut, kenapa tak bikin lagi saja? Masing-masing satu anak! Simple kan! Gitu aja koq repot... *** Itu kawin cerai kawanku. Kau yang terbiasa kawin karena panggilan birahi yang telah melewati masa, aku yakin tak tahu akan hal itu. Aku yakin pula, kau pun tak tahu apa itu puber. Puber kawan... Memang mengasyikkan.. Tapi jika dieksploitasi secara berlebihan, menjadi memuakkan! Tersipu, merah merona, ketika dikonfirmasi "cuma teman biasa" jawabnya. Ahai indahnya... Begitu pikirnya. Tapi jika itu-itu saja, bah! Jenuh aku! Kaupikir hidup hanya melulu berkutat dengan urusan cinta monyet! Tak sadarkah mereka? Pubertas mahal harganya? Mereka bisa beli itu semua, dengan uang yang mereka peroleh dari keberuntungan karena dikaruniai fotogenika serta keelokan rupa. Atau juga, karena garis keturunan. Jerih payah orangtua, membuat mereka terlahir kaya. *** Iri aku kawanku! Miris! Tengoklah kawanku, masih banyak saudaraku yang tak sempat menikmati puber. Bahkan tak tahu apa itu puber karena kesehariannya diisi kekhawatiran "adakah nasi hari ini?" Mereka yang bergelimang kemewahan, begitu kontras dengan saudara-saudaraku yang lain, yang berpapan di kolong jembatan. Tak tega aku melihatnya, ingin kumatikan saja teveku, kurobek koranku, tapi semuanya tak mengubah apa-apa. *** Kau pernah dengar capitalism effect kawanku? Kurasa ini salah satunya... *** Hai kau yang bertengger di atas sana. Berkicau dan meracau. Nyaring, merdu, semaumu, sesukamu. Masihkah kau mau mendengarkan ceritaku? Ada lagi kawanku. Yang tak kalah seru... Tapi... Besok kawan... Aku harus mandi.. Beraktifitas... Berkarya, agar berguna. Mencari nafkah agar bisa bersedekah. Mencari ilmu untuk kemudian kutularkan, agar beroleh kemanfaatan. Banyak hal yang harus kulakukan kawanku. Begitupun kau. Inilah konsekuensi hidup. Ketakadilan, jangan jadikan alasan untuk meredup. Kaupun juga sama bukan? Terbanglah kawan... Melayang, menukik, sesukamu. Berkicau dan meracau sekehendakmu. Kawinlah! Buahi betinamu! Buat ia telurkan anakmu sebanyak kau mau! Tingkatkan populasimu! Kau makhluk bebas kawanku... Aku tak melarangmu mengunjungiku.. Aku tak akan mengurungmu hanya untuk mengeksploitasi suaramu, ataupun anggunnya rupamu. Jangan takut kawan... Tiap pagi, bertenggerlah angkuh di antenna teveku. Besok kawan. Kuceritakan hal baru padamu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun