Mohon tunggu...
Widhi Satya
Widhi Satya Mohon Tunggu... -

[nihil]

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Ukhuwah, Sebagai Atap "Rumah"...

15 Maret 2010   10:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:25 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tik.. Tik...

Tetesan air jatuh dari beberapa titik atap rumahku.

Ada yg cuma tetesan kecil, namun sebagian besar menjadi "hujan lokal" dan sampai harus ditadah dengan ember, kala hujan lebat.

Dulu, kebocoran rumahku tidak separah ini. Bapak dengan rutin mengontrol titik-titik rawan bocor rumah,sehingga tingkat kebocoranpun bisa diminimalisir.

Akan tetapi, sejak stroke bapak semakin parah, tak ada lagi yg "mewarisi" tugas rutinan bapakku itu.

Jangankan aku anaknya (yang dimatanya tidak pernah melakukan sesuatu dengan benar) bahkan tukang bangunan pun tidak di"restui"nya mengambil alih tugasnya.

Tadinya ia bersikeras, untuk naik dan memanjat. Tapi aku ngotot tidak memperbolehkannya. Baru kutahu, ternyata aku lebih keras kepala dari bapakku. Karena akhirnya bapak mau mengalah dan mendengarkan saranku.

***

Kala hujan lebat, aku berbaring. Memandangi langit-langit kamarku yang basah oleh tetesan air.
Terpikir olehku, kenapa bocor? Sehingga air dengan leluasanya masuk ke rumah?


Karena jarak antara genting yang satu dengan yang lainnya (atap rumahku dari genting-pen) tidak rapat. Sehingga menimbulkan celah. Dan, celah itulah yang kemudian menjadi jalan masuknya air ke rumah.


Tidak rapat. Hanya karena genting tidak rapat, bisa merepotkan penghuni rumah begini rupa.
Aku kemudian merenung dan mengambil kesimpulan. Bahwa, ketidakrapatan menyisakan celah. Yang kemudian celah itu bisa dimanfaatkan dan ditembus oleh hal-hal yang bersifat ancaman.


Kenapa aku bisa berkesimpulan seperti itu?
Karena jika aku mengumpamakan rumah ini sebagai islam, maka genting-genting itu adalah umat muslim, dan air hujan adalah ancaman. Itulah fungsi genting (atap rumah) sebagai pelindung, terutama dari "ancaman" air hujan.


Perumpamaan yang 'ganjil'?


Entahlah. Setidaknya, ini cuma pendapat pribadiku.


Bahwa dengan "ketidakrapatan" ukhuwah islamiyah, akan meninggalkan celah yang bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak yg berusaha "menyerang" rumah (baca = islam).


Tak usahlah aku jauh-jauh mempersoalkan "ketidakrapatan" negara-negara muslim yang "berkekuatan" yang seolah "menutup mata" sehingga "celah" itu dimanfaatkan Amerika untuk membombardir Irak dan Afghanistan. Dimanfaatkan pula oleh Zionis untuk merampas tanah Palestina.


Meskipun sampai sekarang aku masih heran, mengapa? Mereka punya kekuatan itu? Mengapa tidak mereka gunakan untuk membela saudara-saudara mereka sesama muslim? Yang, tingkat ketertindasannya sudah demikian mengenaskan? Mengapa? (anda pasti tahu siapa yang kusebut "mereka")


***


Tubuh, dan kuasaku terlalu kecil untuk memikirkan hal yang berskala negara.


Kuasa dan daya jangkauku hanyalah sebatas "aku, dan sekitarku."


Sehingga, apa yg bisa kuusahakan juga hanya sebatas "aku dan sekitarku".


Tunggu! Kurasa pemakaian kata "hanya" di atas,terlalu menyepelekan. Karena meskipun apa yang kulakukan kecil, tapi bukan berarti sepele!


Coba bayangkan, jika apa yang kulakukan ini, juga "menular" dan dilakukan oleh (semoga) semua umat muslim?


Lalu, apa sebenarnya yang akan kulakukan?


Merapatkan genting-genting itu.


Mempererat ukhuwah islamiyah dengan silaturahmi..


Hentikan perdebatan sesat-menyesatkan. Hanya karena orang sedikit berpikir kritis, lalu dianggap sesat.

Hanya karena ada yg mengaku nabi dan berpaham menyimpang, kemudian bertindak anarkis dan main hakim sendiri.

'cmon wake up! We have other urgent business!


Indonesia punya hukum. Jika kita kemudian main hakim sendiri, justru kitalah yang dzalim.

Stay calm..

Redakan emosi..


Lets having each other!


Mari rapatkan genting-genting itu agar rumah tetap menjadi "rumah"


Mari perert ukhuwah islamiyah agar islam lebih kuat.


Inya Allah.. Amin..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun