Mohon tunggu...
Widha Karina
Widha Karina Mohon Tunggu... Penulis - Content Worker

seni | sejarah | sosial politik | budaya | lingkungan | buku dan sastra | traveling | bobok siang. mencatat, menertawakan keseharian, dan menjadi satir di widhakarina.blogspot.com dan instagram.com/widhakarina

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Rayuan Jitu Berhadiah Ponsel

7 Juli 2015   19:53 Diperbarui: 7 Juli 2015   19:53 1583
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Kakak saya petinju, Kak.”

Anak laki-laki itu belum akil baliq, rambutnya agak merah dan dipotong dengan model kekinian. Model tipis kiri-kanan, numpuk di atas. Ia duduk dengan gontai pada sebuah bangku kayu panjang, menggoyang-goyangkan sebelah kakinya. Lidahnya asyik memutar sedotan transparan yang sudah diisapnya lebih dari 10 menit kami berbincang. Matanya kosong menatap lurus saja ke depan sembari menjawab pertanyaan.

“Terus kakak saya yang satu lagi jadi DJ, Kak. Di Pangandaran. Tapi udah nggak kerja.”
“Kenapa?”
 “Dipecat.”
“Karena apa?
“Saya nggak tahu. Saya cuma tahu gitu aja.”

Okta Maidana Sigarlaki hampir selalu mendekati saya dengan tendensi yang berbeda dari teman-temannya yang lain. Jika saya baru masuk ruang kelas, dia bakal menggelayut di pinggir meja, memasrahkan sebagian bobot tubuhnya pada permukaan meja sembari memandang saya penuh harap. “Kak, hape, kak,” ujarnya hati-hati tetapi tetap lugas.

Sesekali, saya luluh juga dengan permintaan Okta (dan sebagian teman-temannya) yang kerap meminjam ponsel saya untuk membuka akun jejaring sosial mereka atau sekadar ingin tahu fitur ponsel tersebut. Jika saya membuat turus setiap kali siswa mengutarakan niatnya untuk meminjam hape saya, saya yakin Okta masih jadi jawaranya. Maklum, di panti asuhan tempat mereka tinggal, siswa tidak bisa sembarangan  mengakses internet. Setiap kelas punya jadwalnya. Bahkan pada beberapa kasus, siswa tidak diizinkan sama sekali menggunakan komputer selain untuk mengerjakan tugas sekolah. Tapi toh anak-anak selalu punya cara untuk mengakses internet dengan cara lainnya.

Nggak. Kali ini kita belajar serius.”
“Ah kak. Cuma sebentar, yang lain kan juga belum dateng.”
Nggak.”

Jika saya tidak memberikan ponsel, biasanya Okta akan menjadi malas-malasan di kelas dan terkesan ingin buru-buru menyelesaikan tugas yang saya berikan. Saya sendiri sesungguhnya ingin sekali dapat mengakomodasi kebutuhan anak-anak untuk berjejaring sosial. Beberapa di antara mereka bahkan bisa dibilang gadget freak, berharap dapat mempelajari teknologi dan ingin membuktikan kebenaran dari resensi tekno yang telah dibaca.

Namun kala itu, saya benar-benar ingin berhenti memanjakan mereka.
“Jangan ketergantungan dengan teknologi, dong,” geram saya ketika suatu hari anak-anak tidak mengumpulkan tugas dengan alasan tidak mendapat izin untuk menggunakan komputer. “Siapa yang minta diketik? Kan gue nggak minta. Jangan tergantung sama teknologi, lah. Tulis tangan juga cukup,” tukas saya.

Lebih dari sebulan saya bertahan dari serbuan anak-anak yang biasanya merongrong dengan permintaan yang sama. Suatu ketika saya melihat Okta menulis pada salah satu jejaring sosialnya.  

‘ka okta kangen dah lama gak ketemu kaka.’

Okta menulis pada kolom komentar di salah satu foto pria yang sepertinya sedang beraksi sebagai disk jockey (DJ). Kemungkinan itu foto kakaknya. Mau tidak mau, saya trenyuh juga. Mendadak teringat ketika saya beberapa kali menolak permohonannya untuk meminjam ponsel. Bisa jadi ketika itu dia hanya ingin menumpang menulis pesan untuk sang kakak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun