Mohon tunggu...
Widha Karina
Widha Karina Mohon Tunggu... Penulis - Content Worker

seni | sejarah | sosial politik | budaya | lingkungan | buku dan sastra | traveling | bobok siang. mencatat, menertawakan keseharian, dan menjadi satir di widhakarina.blogspot.com dan instagram.com/widhakarina

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Ocean Eco Park: Alternatif Lokasi Nyepi di Pesisir Jakarta

1 April 2016   16:58 Diperbarui: 1 April 2016   19:11 500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Bengong-bengong di pinggiran sini asyik lah ya... (Dokumen pribadi)"][/caption]Jakarta sudah habis dikuliti oleh Seno Gumilar Ajidarma (SGA) dalam kumpulan esainya yang berjudul Tiada Ojek di Paris. 

Laku penduduk urban, sistem birokrasi, sampai ke penggunaan ruang publik sudah dikritisinya dengan contoh peristiwa remeh-temeh yang dialaminya sehari-hari. Tentunya kritiknya diuraikan melalui irisan analisis yang kerap membawa serta pemikiran beberapa teoritisi dan ‘pemikir’. Gramsci, contohnya.

Seperti SGA dan penduduk Ibu Kota DKI  lainnya, saya juga gemas sesekali. Punya hobi jalan kaki, saya yang kalem ini terpaksa misuh-misuh dalam hati saja kalau trotoar yang sudah dibikin rapi-rapi malah ditanami pasak tenda atau digali untuk penanaman kabel serat optik. 

Belum lagi kalau dijadikan parkiran berbayar dan korban sepeda motor yang memaksa nyelip di antara tiang listrik dan pot tanaman trotoar yang gedenya ngalahin lebar trotoar itu sendiri. Duh, biyung...

Selain jalan kaki, saya juga hobi bengong-bengong sambil baca buku atau bikin coretan di buku. Di situlah saya butuh taman. Untuk kebutuhan yang satu ini, syukurlah, Pemda semakin menyadari pentingnya paru-paru kota dan mulai membenahi serta menciptakan ruang publik untuk warga menghabiskan pagi dan sore sembari lonjak-lonjak bergembira. 

Dan sudah menjadi kegemaran saya untuk nyicipin taman-taman cantik untuk sekadar melamun atau ngobrol sama kucing-kucing liar di pojokan. Lumayan lah. Taman-taman di Jakarta sudah jauh lebih nyaman, meski fungsinya belum mengejawantahkan fungsi public sphere yang ideal menurut Habermas. Deuileh...

Beberapa hari yang lalu saya akhirnya mencicipi satu taman yang sudah lama ingin saya datangi. Selama ini kedatangan saya terkendala rasa malas karena taman yang satu ini harus diakses dengan terlebih dahulu membayar uang masuk dan Anda direkomendasikan untuk mengendarai kendaraaan pribadi supaya lebih mudah menuju ke situ. 

Taman yang satu ini namanya Eco Park. Terletak di dalam komplek Ancol, saya jadi harus membayar Rp 25.000 untuk bisa melancarkan ritual bengong-bengong hari itu.

Dengan menumpang Transjakarta, saya kemudian melanjutkan perjalanan saya ke Eco Park dengan ikut naik shuttle bus Wara-wiri yang disediakan oleh pihak Ancol. Ingin berjalan-jalan terlebih dahulu, saya sengaja turun di Econvention untuk sekadar tengak-tengok keadaan sekitar. Toh Econvention lokasi tak jauh dari Eco Park. Tinggal lompat.

Bertemu Makhluk yang Sepertinya Lebih Rajin Nyalon daripada Saya

Begitu turun dari bis, saya hampir menjerit saking kagetnya. Di depan Econvention ada seekor anjing (kalau tidak boleh dibilang seonggok bulu menggemaskan) yang cantik dan bersih, sedang menengok ke arah saya. AAARGGH! Lucu mbuanget! Kepo, saya pun mendekat ke Econvention dan ternyata di sana sedang berlangsung kompetisi anjing yang diselenggarakan oleh The Federation Cynologique Internationale (FCI Asia-Pacific Section) 2016.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun