Mohon tunggu...
Widha Karina
Widha Karina Mohon Tunggu... Penulis - Content Worker

seni | sejarah | sosial politik | budaya | lingkungan | buku dan sastra | traveling | bobok siang. mencatat, menertawakan keseharian, dan menjadi satir di widhakarina.blogspot.com dan instagram.com/widhakarina

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Angin dan Surat Izin Menerobos Jendela

17 Mei 2016   14:49 Diperbarui: 17 Mei 2016   15:43 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: perspective-images.com

Setiap malam kau menanti patah
Pepatah-pepatah yang antre di sisi luar jendela rapuh yang selalu jengah
Mengertilah! Ia sudah lelah!
Kulihat dengan rentanya ia mengayun, bosan menyumpah
..setiap kali kau minta bukakan jalan bagi peziarah langka yang minta suaka

Peziarah datang beberapa kali mengajukan surat izin untuk memanjat dan menyelinap naik, demi menerobos jendela
Anehnya kau bubuhkan saja juga lelehan lilin yang kau timpa dengan langgam cincin bergurat inisial nama
'SS'
Begitu bunyinya

"'SS' itu maksudnya apa?" peziarah sembrono itu mengajukan tanya
"'SS' untuk Silakan Saja. Jendela jika malam tak dikunci. Cobalah kau dorong daunnya, lalu masuk untuk sembunyi."
"Oh kukira 'SS' itu untuk Sialan Sontoloyo."
"Boleh saja. Tadinya memang begitu singkatannya."
Peziarah mohon pamit
Khawatir surat izinnya dicabut sebelum senja

Maka datanglah petang yang biasa
Gelap yang pijar
Dingin yang wajar
..dan kau menggigil karenanya
Padahal jendela itu tiada pernah kau buka
Pula kuncinya hanya selalu menggantung di situ, tanpa pernah kau putar

Lalu kau biarkan peziarah itu tersesat meniti nasib mujurnya
Pada tingkap akhir langkahnya, bilah-bilah jendela mendadak jadi tajam ujung lidahnya
"Peziarah penyakitan! Kau kira di sini barak pengungsian? Pulang!"
"Sudah kukantongi surat izin, bawel! Biarkan aku lewat!"

Jendela tak punya pilihan
Ia mengayun, menundukkan kepala
(dengan setengah hati tentunya)
Peziarah berembus masuk seperti angin yang lumrah menerebos kisi-kisi anyaman bambu
Ia berjingkat membawa serta tiupan napas samar dari kincir-kincir di padang randu

Satu
Dua

Seketika kau terhenyak menyabut lirihnya ajal yang datang bersama sepoi rindu

Jendela sendu
Mengerling dirimu
Kau mati beku
Sementara peziarah meringkuk nyaman di karavanmu yang berpintu ragu

Jendela membatin sembari terisak kelu
"Sudah kukatakan berkali-kali.
..kau sudah terlalu dingin.
..tak perlu lagi berkali-kali masuk angin."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun