Mohon tunggu...
Widha Karina
Widha Karina Mohon Tunggu... Penulis - Content Worker

seni | sejarah | sosial politik | budaya | lingkungan | buku dan sastra | traveling | bobok siang. mencatat, menertawakan keseharian, dan menjadi satir di widhakarina.blogspot.com dan instagram.com/widhakarina

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Segarnya "1670", Komedi Satir Polandia yang Bikin Terkekeh Jahil

13 Maret 2024   15:09 Diperbarui: 13 Maret 2024   16:31 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster 1670. Koleksi 1670 via seriesjunkies.de

Adalah Aniela, anak bungsu Jan Pawel. Satu-satunya perempuan. Sepanjang serial ini, Aniela bertugas menjadi SJW dan mengkritik sana-sini (kalau sekarang, istilahnya: woke people ya. Kaum melek. Wkwkwk). Aniela selalu berupaya menolak gagasan ayah dan ibunya yang bersikeras mempertahankan garis bangsawan dengan cara mengeksploitasi masyarakat dan cari muka ke kerajaan.

Beda Aniela, beda pula putra sulung dan anak tengah Jan Pawel. Sementara Aniela sibuk membuat selebaran cara memilah sampah dan berkampanye tentang global warming kepada para pelayannya (yang mendengarkannya dengan bengong --tentu saja), Stanisaw abang sulung Aniela tetap konsisten fokus bermalas-malasan sembari menunggu waktunya menikah.

Sedangkan abang nomor dua Aniela bernama Yakub adalah seorang pastor Katolik Roma. Ia mewakili kalangan gereja yang kena hantam pada era rasionalisasi Auflarung. Tak hanya berotak bisnis, Yakub juga gila hormat dan sempat berpikir untuk menyabotase kedua saudaranya untuk mendapatkan warisan.

Demokrasi ala Aristokrasi

Mengambil latar periode sejarah ketika Persemakmuaran Polandia-Lithuania berlangsung, serial "1670" ini memasukkan pula isu yang terjadi pada era tersebut. Krisis ekonomi, depresi, mulai lunturnya kekuasaan land lord, konflik sosial, rasisme, dan merebaknya wabah. Meski demikian, sesungguhnya kita tidak perlu memahami sejarah Eropa untuk menikmati film ini. Secara menakjubkan dan brilian, isu dan kritik sinis yang dilontarkan tetap relevan untuk peristiwa hari ini.

Jadi, jika kamu berselera dengan komedi gelap ala Eropa Timur, jelas saya merekomendasikan serial ini. Apalagi buat yang lagi gemar-gemarnya mengamati politik dalam negeri belakangan ini. Sedikit-sedikit suka ada tamparan-tamparan gemas yang bikin geli.

Salah satu contohnya: bagaimana para tokoh mendefinisikan demokrasi dengan serangkaian metode pengambilan keputusan dari para laki-laki bangsawan yang statusnya diturunkan berdasarkan garis keturunan. Atau bagaimana gereja Katolik dengan kebenaran absolutnya dari sisa-sisa abad pertengahan berusaha untuk mengambil peran terlalu banyak dalam menjaga moral masyarakat dan mempengaruhi putusan-putusan politis.

Amat seru menyaksikan perdebatan irasional dari para bangsawan yang repot-repot mengutip kata-kata filsuf dan negarawan guna mendukung opini pribadinya. Padahal ujung-ujungnya yang coba mereka langgengkan adalah kejayaan keluarga dan langkah-langkah nepotisme yang klasik belaka. Tak heran jika beberapa di antaranya berakhir tragedi (tapi tetap kental komedi --lagi-lagi khas selera humor Eropa Timur).

Menonton film ini dan melihat sosok Jan Pawel, saya jadi teringat satu buku dongeng masa kecil, karangan Hans Christian Andersen. Judulnya "Emperor's New Clothes". Tapi saya lebih suka judul versi Indonesianya yang lebih gamblang dan sembrono: "Raja yang Bodoh". Jan Pawel bukan raja, tentu saja. Tapi ia dikelilingi oleh orang-orang yang sudah kadung putus asa. Bosan dibodoh-bodohi (atau dianggap bodoh). Tak lagi mengharap kebajikan. Lelah mengkritik. Ogah ambil pusing atas langkah-langkah lucu Jan Pawel.

Selain isu sosial yang dikemas secara jenaka, satu nilai plus yang membuat saya betah menghabiskan serial ini dalam waktu singkat adalah latar periode, kostum, dan sinematografinya. Framing-framing adegan yang memanjakan mata, lanskap pedesaan yang memukau, detail warna, dan ukiran.  Plus blocking-blocking aktor dan peletakan properti yang sangat teater. Bertaburan easter egg! Apik sekali.

Kelompok Teater dalam 1670. Via Netflix
Kelompok Teater dalam 1670. Via Netflix
Pula amatlah perlu saya mengomentari gestur dan mimik wajah aktor di film "1670" ini. Dunia di sekitar Adamczycha seolah terbagi dalam dua titik ekstrem: realis dan metaforis. Dan demikian pula para aktor di dalamnya memerankan dua sisi dunia tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun